Selamat Datang

Selamat Datang, Diharapkan bersedia untuk memberikan komentar dan saran. Terima Kasih

Kamis, 02 Desember 2010

Kasus Dugaan Mafia Pajak Dan Mafia Peradilan Yang Terkait Gayus Tambunan

Kasus dugaan mafia pajak dan mafia peradilan yang terkait Gayus Tambunan tak kunjung tuntas. Terakhir, Gayus membuat heboh dengan bebas plesiran menonton tenis di Bali. Di satu sisi, tentulah menjengkelkan dan menggeramkan. Di sisi lain, terungkapnya kasus Gayus semakin terang membuktikan betapa parahnya praktik mafia hukum. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas) sedari awal mengadvokasi dan menseriusi kasus ini karena melihat arti strategisnya untuk membenahi sektor perpajakan dan penegakan hukum.



Mewakili Satgas, saya lima kali bertemu Gayus. Tiga kali sebelum ia mencoba lari ke Singapura. Dua sisanya adalah di Lucky Plaza, Singapura dan di Rumah Tahanan Mako Brimob setelah ia dibawa kembali dari Singapura. Dari lima kali pertemuan banyak hal penting yang diungkapkan Gayus, yang seharusnya bisa menjadi petunjuk dan bukti awal bagi terbongkarnya mafia pajak dan mafia peradilan secara keseluruhan.

Pada awal pertemuan pertama, Gayus masih mencoba bertahan bahwa uang miliaran yang dimilikinya adalah hasil bisnis dengan Andi Kosasih. Gayus dengan wajah tenang masih mencoba berkelit. Dengan agak jengkel saya katakan, "Kami bukan anak kecil, jangan main-mainlah. Sampaikan saja apa adanya. Jujur saja. Tidak ada gunanya berbohong".

Akhirnya, sedikit-demi-sedikit Gayus mulai terbuka. Diakuinya, uang berasal dari wajib pajak, tanpa menyebut nama perusahaan. Praktik mafia pajak sedikit-demi-sedikit dipaparkannya. Ada keterlibatan oknum pajak, pengadilan pajak, konsultan pajak, calo pajak dan wajib pajak. Beberapa nama disebutkannya sebagai orang-orang yang terlibat. Di pertemuan awal ini, Gayus mengaku "hanya" memiliki uang sekitar 28 milar rupiah.

"Kesalahan saya adalah memindahkan uang-uang itu, yang semula aman saya simpan di rumah, ke bank" ujarnya. Sambil menunjuk salah satu lemari di ruangan kami berbincang, yang seukuran 1,5 x 1 meter, ukuran yang diakuinya sama dengan lemari tempatnya menyimpan uang dolar di rumah.

Memang, sejak uang itu disimpan di bank, bau busuk mulai terendus. Laporan bank ke Pusat Pelaporan & Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengindikasikan ada transaksi mencurigakan. Mulailah polisi yang mendapatkan Laporan Hasil Analisis PPATK menyelidiki dan akhirnya menyidik kasus Gayus. Ironisnya, yang terjadi bukanlah tegaknya hukum, namun justru melahirkan praktik mafia peradilan. Rentang pelaku mafia menyebar ke seluruh penegak dan profesi hukum, yaitu oknum: polisi, jaksa, hakim, advokat dan calo kasus. Gayus menyatakan uangnya yang 28 miliar habis digunakan untuk menyuap para mafioso peradilan tersebut.

Sejak pertemuan pertama dengan Gayus, satgas segera melihat kasus ini penting untuk ditangani KPK. Jelas, kasus Gayus mengandung unsur korupsi yang konspiratif, yang merupakan domain kerja KPK.

Namun, belum sempat ditangani KPK, polisi bergerak lebih cepat. Kapolri kala itu membentuk tim independen. Lalu Kabareskrim mengejar Gayus hingga ke Singapura. Satgas yang mendengar Gayus di negeri singa segera berkoordinasi dengan Komjen Ito Sumardi untuk ikut mengupayakan Gayus kembali ke tanah air.

Sebelum berangkat ke Singapura, Gayus memang sempat bertemu Satgas untuk kali ketiga. Menurutnya, setelah pertemuan, dia membaca berita online bahwa Andi Kosasih sudah ditangkap dan menjadi tersangka. "Saya panik Mas, dan akhirnya mendadak memutuskan ke bandara", katanya ketika bertemu saya dan Mas Achmad Santosa di Singapura.

Pertemuan di Singapura berlangsung lebih dari dua jam. Gayus yang membeli makanan buat anak-istrinya, yang menyusul ke Singapura, bertemu dengan kami yang ingin makan malam. Tidak sedikit pihak yang meragukan pertemuan kebetulan itu. Saya mempertaruhkan kebenarannya dunia-akhirat. Itulah yang memang terjadi.

Sebelum masuk ke Asian Food Court, di lantai dasar Lucky Plaza, saya berucap sambil memandang Mas Otta, "Ya Allah, semoga ada Gayus di sini". Sambil mata saya melihat sekeliling pasar makanan itu yang cukup padat pengunjung. Tak sampai 10 langkah kemudian, Mas Otta memanggil saya, dan agak berbisik menunjuk seseorang, "Gayus ... "

Saya yang melihat seseorang dari arah belakangnya mengatakan, "Bukan ah ... Jangan guyon" kata saya agak jengkel. Mas Otta kembali mengatakan, "Betul, Gayus...!" Kali ini wajahnya serius. "Coba kamu mundur dan lihat dari samping", katanya. Saya mundur, dan terkesiap. Orang di samping saya betul-betul Gayus. Masih setengah percaya, saya memandang ke Mas Otta, "Gayus...???" bisik saya. Mas Otta hanya mengangguk mantap.

Saya tepuk pundak Gayus. Dia terkejut melihat kami. Sempat terdiam beberapa saat. Wajahnya tegang sebentar, tapi segera tenang kembali. Akhirnya, saya ajak dia untuk bicara sambil makan di pojok masakan padang. Sebelum bicara, Mas Otta minta saya menelepon Pak Ito, Kabareskrim, untuk mengabarkan kami bertemu Gayus.

Lebih dari 2 jam kami berbincang, mempersuasi Gayus untuk pulang. Mas Otta bilang, "sudahlah buka saja buku baru, tutup yang lama". Saya membujuk dengan menegaskan betapa ruginya ia dan seluruh keluarganya, jika Gayus terus lari. Saya coba sentuh perasaannya, "Anak-anakmu, akan ingat ayahnya hanya sebagai koruptor dan buron”. Saya lanjutkan, “Waktumu tidak banyak Passport-mu sudah dicabut. Kamu sekarang ilegal di Singapura. Besok pagi, polisi Singapura akan menangkapmu. Kecuali kamu pulang ke Indonesia. Lebih baik di penjara di Jakarta, dekat dengan keluarga, daripada di Singapura".

Gayus terlihat bimbang. Dia bingung bagaimana anak-istrinya jika ia di penjara. Ia minta ada kepastian keringanan hukuman. Kami katakan, satgas tidak bisa menjanjikan apa-apa yang di luar kewenangan kami. Kami hanya menjanjikan dia akan tetap selamat dan sehat, tidak akan mengalami kekerasan fisik selama proses hukumnya berjalan.

Pada satu ketika, Gayus tiba-tiba bilang, "Sebenarnya ada lagi Mas?" Melihat sorot matanya, saya langsung menangkap gelagatnya, "Apa? Kamu punya duit lagi? Di luar yang 28 miliar?".

"Iya" jawabnya. "Berapa?" tanya saya, yang sudah menduga uang Gayus tidak hanya 28 miliar saja. "Ada lagi di safe deposit box sekitar 75 M. Tolong itu buat anak-istri saya, kalau bisa jangan diganggu", katanya dengan suara agak memelas. Dengan tegas saya dan Mas Otta katakan, "Tidak bisa! Uang itupun harus diserahkan ke negara! Jadi berapa uangmu sebenarnya?" Gayus menjawab, "Ya sekitar 100 miliaran-lah". Saya, meski sudah menduga Gayus banyak uang, tersandar ke kursi. Kaget! Saya bayangkan dengan uang 28 M saja, respon publik sudah sangat marah, apalagi jika tahu uang korupsi Gayus jauh lebih banyak.

Gayus lalu bercerita darimana asal uang 75 M itu. Disebutnya nama wajib pajak yang membuat kami mengernyitkan kening. Kami tidak dalami keterangan Gayus tersebut, karena misi malam itu adalah membujuknya untuk pulang. Jika fokus ke asal uang, dan terungkap betapa beratnya potensi ancaman yang akan dihadapinya, bisa jadi Gayus menolak kembali ke tanah air.

Akhirnya, setelah lebih diyakinkan, Gayus minta izin bertukar pikiran dengan istrinya. Kami antar dia sampai depan kamar hotel ia dan keluarganya menginap. Saat akan keluar menuju hotel, keluar dari Lucky Plaza itulah, petugas polri menampakkan dirinya dan bergabung. Gayus terlihat kenal dekat dengan salah satu polisi. Belakangan saya baru tahu, bahwa beberapa bagian pertemuan dengan Gayus itu direkam oleh polri. Setelah kembali ke Indonesia, Satgas kembali bertemu Gayus di rutan brimob. Memastikan dia sehat dan aman.

Waktu terus berjalan. Kasus Gayus mulai disidangkan. Fulus Gayus kembali menunjukkan kesaktiannya. Dia berhasil keluar tahanan selama total 68 hari, termasuk plesir nonton tenis ke Bali. Uang Gayus memang sakti, meski belum juga diperjelas siapa pemberinya.

Agar tidak menjadi fitnah, tidak mudah dipolitisasi, asal fulus Gayus harus diperjelas. Jangan digeneralisir semua wajib pajak yang berhubungan dengan Gayus pasti menyuapnya; jangan pula dilokalisir hanya sedikit perusahaan saja yang menyuap Gayus. Proses hukumlah yang harus membuktikannya, bukan - dan tidak boleh - proses lainnya, apalagi proses dan negosiasi politik. (*)

Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM & Pemberantasan KKN

Sumber : http://dennyindrayana.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar