Selamat Datang

Selamat Datang, Diharapkan bersedia untuk memberikan komentar dan saran. Terima Kasih

Rabu, 09 Februari 2011

Kirk Ferentz: Seorang PNS yang Bergajikan $3.675.000 Per Tahun

Siapa yang pernah mendengar nama Kirk Ferentz? Saya yakin nama ini sangat asing di telinga sebagian besar (atau bahkan seluruh) rakyat Indonesia. Mengapa? Pertama, dia memang bukan orang Indonesia dan tidak mempunyai keterkaitan apapun dengan Indonesia. Kedua, dia juga bukan seorang selebritis tersohor laiknya Justin Bieber yang begitu digandrungi kaum muda di negara kita.

Kirk Ferentz adalah seorang pegawai negeri sipil yang bekerja sebagai pelatih tim sepakbolanya (American football) Universitas Iowa, AS. Tak lebih dari seorang PNS. Laki-laki berusia 55 tahun ini berasal dari Michigan, yang sudah menjadi pelatih Iowa sejak 1999. Tidak ada yang spesial ikhwal latar belakang atau sepak terjangnya. Apalagi bagi kita, orang Indonesia, yang tidak pernah terpincut menggemari sepakbolanya Amerika, yang sekilas nampak seperti gulat memperebutkan sebuah bola.


Yang cukup menghebohkan dari Ferentz ini adalah laporan terakhir mengenai gajinya per tahun yang notabene delapan kali lebih besar tinimbang gaji rektor universitas Iowa. Ferentz dilaporkan menerima gaji sebesar $3.675.000. Anda konversikan sendiri ke dalam rupiah. Nolnya tentu berderet panjang. Kabarnya, Ferentz baru-baru ini menerima kenaikan gaji 21 persen, yang membuatnya menjadi pelatih dengan bayaran tertinggi di konferensi Big Ten (salah satu kelompok divisi tim sepak bola kampus).

Pikiran waras kita tentunya bertanya “Kok bisa?” Ingat, Ferentz ini bukan pelatih NFL (National Football League) yang sudah barang tentu gajihnya selangit mengingat profesionalisme dan gengsi liganya. Ferentz hanyalah seorang pelatih tim sepakbola kampus.

Rupanya, sepak bola Hawkeye (nama kebanggaan tim sepak bola Universitas Iowa) adalah perusahaan mandiri, yang tidak menyedot anggaran negara atau memakai uang pajak. Mereka menghasilkan pendapatan melalui penjualan tiket, hak siar, iklan dan sponsor. Departemen atletik yang menaungi tim sepak bola Hawkeye ini menghasilkan $ 70 juta tahun fiskal lalu, dan hampir $ 20 juta berasal dari sepak bola Hawkeye. Departemen atletik juga membayar semua beasiswa yang diberikan kepada semua atlet yang dibinanya, termasuk di dalamnya 99 pemain sepak bola Hawkeye.

Pertanyaan selanjutnya? Kalau mandiri dan menghasilkan uang banyak, kenapa urusan gaji pelatihnya harus diributkan? Masalahnya adalah kenaikan gaji pelatih Iowa ini dirasa kurang pas di tengah krisis ekonomi Amerika yang belum pulih. Perlu dicatat, baru-baru ini, kampus ‘meliquidasi’ beberapa program studi dan jurusan serta mem-PHK ratusan asisten dosen dengan alasan tidak efisien secara anggaran. Jadi, yang menjadi perdebatan di kalangan masyarakat Iowa ini adalah masalah prioritas. Kalau saja uang sejumlah itu digunakan untuk dana pendidikan. Tentunya, tidak usah ada liquidasi atau PHK


Ferentz disiram Gatorade setelah kemenangan tim Iowa (sumber: http://blogs.desmoinesregister.com)
Keberadaan tim sepak bola Iowa memang membawa dampak ekonomi yang sangat signifikan bagi kota Iowa dan Coralville. Sebuah studi yang digelar oleh biro pemerintahan Iowa/Coralville memperkirakan bahwa pertandingan sepak bola Hawkeye akan membawa lebih dari $ 100 juta untuk Johnson County (county bisa setara kabupaten) tahun ini. Jumlah yang cukup menjanjikan di tengah kemerosotan ekonomi secara nasional. Selain manfaat moneter terhadap kota, keberhasilan dan prestasi tim sepak bola Iowa ini rupanya membantu reputasi universitas di lingkup nasional. Apalagi tahun kemarin, tim sepak bola Iowa ini berhasil duduk di peringkat atas di divisi dengan membukukan 11 kemenangan dan 2 kekalahan. Alhasil, tim Iowa ini masuk ke dalam panggung percaturan sepakbola nasional. Nama Iowa dan universitasnya pun otomatis terangkat.

Lagi-lagi yang jadi permasalahan adalah skala prioritas. Sumbangan banyak alumni untuk tim sepak bola kampus yang jauh lebih besar dibandingkan sumbangan untuk pendidikan menunjukkan adanya ketidakberpihakan mereka terhadap pengembangan pendidikan di kampus tempat mereka dulu menimba ilmu.

Menurut perhitungan sejumlah kalangan, bonus tambahan $ 675.000 untuk Kirk Ferentz tahun ini sebenarnya sangat mencukupi untuk mendanai sekitar 30 asisten pengajar, membantu biaya operasional perpustakaan setelah jam 5 sore, atau membayar uang sekolah lebih dari 100 mahasiswa selama setahun. Tapi, sepak bola kampus memang murni bisnis yang menguntungkan. Olahraga ini telah menjadi komoditas pasar yang mengharuskan tim untuk membayar gaji pelatih sebesar mungkin untuk bisa tetap kompetitif.

Rasanya, miris membandingkan kondisi ini dengan fakta pendanaan tim sepakbola di negara kita. Sekalipun diklaim profesional, tim-tim sepakbola kita belum bisa mandiri, menceraikan diri dari ketergantungan akan APBD, yang sebenarnya menyalahi aturan FIFA. Tapi, ya kita sebagai masyarakat pun kelihatannya tidak berkeberatan dengan fakta ini. Buktinya, tidak terdengar ada gerakan masal dari kalangan mahasiswa dan masyarakat yang mendemo tim kesayangannya yang selalu menggantungkan diri pada uang rakyat.

Sumber : Kompasiana


Tidak ada komentar:

Posting Komentar