Selamat Datang

Selamat Datang, Diharapkan bersedia untuk memberikan komentar dan saran. Terima Kasih

Minggu, 21 November 2010

Diplomasi soal TKI, Era Yudhoyono Terlemah

Dalam catatan Migrant Care, sepanjang tahun ini terdapat 5.636 kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami TKI di luar negeri. 

DIPLOMASI dalam hal melindungi tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bermasalah di luar negeri pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai paling lemah jika dibandingkan dengan masa presiden-presiden sebelumnya. 

Ketidaktegasan pemerintah dalam berdiplomasi itu juga berkontribusi signifikan atas berulangnya kasus penyiksaan dan kematian TKI. 

"Ketika seorang TKI asal Madura, Siti Zainab, pada 2007 divonis hukuman mati di Arab Saudi karena terbukti membunuh majikannya, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid langsung menghubungi Raja Fahd sehingga pelaksanaan hukuman matinya ditunda," kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah dalam diskusi bertema Pahlawan devisa yang tersiksa, kemarin, di Jakarta. 

Demikian pula dengan kasus Nirmala Bonat, TKI asal Nusa Tenggara Timur yang disiksa majikannya di Malaysia. Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri mengundang Nirmala dan keluarganya ke Istana Negara sebagai bentuk kepeduliannya terhadap nasib TKI. 

"Tetapi pada kasus kematian Yanti Irianti, TKI asal Cianjur, pada 2008, Presiden menanggapinya hanya dengan sikap terkejut dan meminta untuk memulangkan jenazahnya," kata Anis. 

Anis memberi contoh diplomasi yang dilakukan Presiden Sri Lanka. Sebulan lalu ia menelepon Raja Fahd untuk menunda hukuman mati tenaga kerja asal Sri Lanka. 

Menurut Anis, di era pemerintahan Yudhoyono, semakin banyak TKI yang divonis mati oleh penegak hukum negara tujuan penempatan. Saat ini, seorang TKI tengah menunggu eksekusi mati di Arab Saudi. Dan, tiga TKI divonis tetap oleh Mahkamah Agung Malaysia dengan hukuman mati. 

Dalam catatan Migrant Care, dalam tahun ini terdapat 5.636 kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami TKI. 

Perjanjian bilateral 
Pada kesempatan yang sama, pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan untuk meminimalisasi seringnya terjadi kekerasan terhadap TKI, pemerintah harus berani mengajukan dan menegosiasikan adanya perjanjian bilateral dengan negara penerima TKI. 

Perjanjian bilateral ini minimal harus mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Perlindungan atas Hak-hak Buruh Migran dan Keluarga. 

"Kasih pilihan. Kalau enggak mau tanda tangani perjanjian bilateral, hentikan semua pengiriman ke negara tersebut," kata Hikmahanto. 

Sementara itu, Amnesty International mendesak pemerintah Arab Saudi melindungi pembantu rumah tangga dari segala macam penyiksaan. 

Desakan itu disampaikan Amnesty International pascaditemukannya mayat tenaga kerja Indonesia yang dimutilasi di Kota Abha. 

"Arab Saudi dan semua negara di teluk harus mengakhiri perlakuan mengerikan terhadap buruh migran. Itu dapat dilakukan dengan mencabut kekebalan yang memperbolehkan majikan mengeksploitasi, memperbudak, menyiksa, menyerang, dan mencederai pembantu rumah tangga mereka," kata Direktur Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Malcolm Smart, dalam rilisnya. 

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar menilai Undang-Undang No 39/2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja di luar negeri wajib dikaji ulang. 

"Sebab, UU itu minim berbicara soal perlindungan," tegas Linda didampingi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, seusai menjenguk keluarga almarhum Kikim Komalasari, TKI yang dibunuh di Arab Saudi, di Cianjur, Jawa Barat.(Tlc/Yan/BK/*/X-8) 

andreastimothy@mediaindonesia.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar