Selamat Datang
Selamat Datang, Diharapkan bersedia untuk memberikan komentar dan saran. Terima Kasih
Rabu, 16 Februari 2011
Upacara Adat Kematian Rambu Solo di Toraja, Sulawesi Selatan
Pagi masih sangat dingin saat banyak anggota keluarga berkumpul dangan pakaian serba hitam, serba putih dan berwarna variasi. Mereka berkumpul di sekitar rumah adat tongkonan untuk melaksanakan upacara alluppia, satu dari dua bagian dalam upacara adat kematian rambu solo di Toraja. Bagian lain dari upacara rambu solo adalah rante. Dua upacara tersebut berlangsung dalam kurun waktu satu tahun.
Upacara alluppia terdiri dari ma’tundang, ma’balung (membungkus jenazah), ma’rotto (membubuhkan ornamen benang emas dan perak pada peti jenazah), dan ma’paroko alang (menurunkan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan).
Para keluarga yang telah berkumpul, laki-laki dan perempuan, kemudian bersatu membentuk lingkaran lalu melakukan tari ma’badong. Ma’badong adalah tari ratapan kesedihan karena telah kehilangan seorang anggota keluarga sekaligus ungkapan duka cita bagi keluarga terdekat yang ditinggalkan. Irama dan syairnya mistis. Suara tumbukan padi terdengar mengalun mengikuti irama dan syair tari ma’badong. Penumbuk padi adalah para wanita tua yang memang sudah mahir melakukannya.
‘Tak lama, para keluarga yang lain berdatangan satu persatu. Mereka tidak hanya datang dari sekitar wilayah Toraja, tapi juga datang dari seluruh penjuru negeri. Keluarga-keluarga di Toraja dipersatukan oleh adat, warisan nenek moyang, leluhur mereka. Mereka yang baru datang pun turut bergabung dalam lingkaran tari ma’badong.
Bagi keluarga, kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Untuk itu, merupakan kewajiban bagi mereka untuk mengadakan rambu solo sebagai penghormatan bagi arwah yang meninggal sebelum menuju ke alam baka (punyo). Jika rambu solo belum diadakan, itu berarti jenazah masih dianggap tidur. Selama rambu solo berlangsung, jenazah disemayamkan dalam peti seberat sekira 100 kilogram dan dihiasi ornamen benang emas dan perak, serta disimpan di dalam usungan berbentuk tongkonan.
Menjelang siang hari, jenazah diantar untuk disemayamkan. Para keluarga lelaki mengangkat usungan dan tau-tau, patung yang menyerupai wajah jenazah. Keberadaan tau-tau menandakan bahwa orang yang meninggal adalah dari golongan bangsawan. Sementara itu, para keluarga wanita mengangkat bentangan kain merah atau lamba-lamba yang bermakna jalan bagi jenazah untuk menuju alam baka. Panjang kain sepanjang jumlah keluarga wanita. Para lelaki dilarang bernaung di bawah lamba-lamba.
Iringan-iringan para pengantar pun berjalan menuju tempat persemayaman jenazah. Beberapa keluarga terlihat memakai pakaian adat Toraja. Mereka meneriakkan teriakan-teriakan khas dalam bahasa Toraja yang memekakan telinga. Ornamen-ornamen hiasan dari bambu juga terlihat dipegang oleh beberapa keluarga.
Sampailah iring-iringan para pengantar di wilayah persemayaman, sebuah lapangan yang dikelilingi tongkonan. Di tongkonan itu, berkumpullah para keluarga, sementara di lapangan, beberapa kerbau terlihat terikat dia simbuang batu. Simbuang batu adalah batu manhir yang menandakan bahwa kerbau yang siap dikurbankan jumlahnya paling sedikit 24 ekor.
Peti jenazah di angkat ke atas rumah tempat persemayaman yang disebut la’kiyang, rumah yang terbuat dari bambu. Peti diangkat oleh beberapa laki-laki dengan teriakan-teriakan khas dalam bahasa Toraja. Keluarga terdekat menemani jenazah di rumah tersebut.
Selanjutnya, dilaksanakanlah ma’tinggoro tedong atau ritual pemotongan kerbau di tengah lapangan. Pemotongan kerbau dilakukan hanya dengan sekali tebas oleh para pemotong. Tujuannya, sebagai bekal bagi arwah jenazah. Arwah kerbau yang dikurbankan diyakini akan menemani arwah orang yang meninggal. Kerbau yang mati langsung dikuliti; dagingnya dipotong-potong kemudian dibagikan kepada seluruh keluarga.
Ritual berikutnya adalah mappassilaga tedong atau adu kerbau. Ritual ini adalah ritual yang paling disukai penonton karena dijadikan sebagai ajang taruhan atau judi. Semakin banyak penonton; semakin banyak uang taruhan.Kerbau yang diadu adalah kerbau khas Toraja yang berkulit belang (tedong bonga) dan tanduknya bengkok ke bawah. Kerbau jenis ini sangat mahal harganya, mencapai ratusan juta rupiah. Kerbau yang kalah akan dikurbankan.
Begitulah sebagian ritual dari rambu solo. Selanjutnya, masih banyak lagi ritual yang akan dilaksanakan oleh keluarga. Jenis ritual yang dilaksanakan tergantung strata orang yang meninggal, semakin tinggi stratanya maka semakin banyak ritual yang dilaksanakan. Dan semakin tinggi pula biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakannya.
To ina indanriki’ lino
To na pake sangattu’
Kunbai lau’ ri punyo
Pa’tondokkan marendeng
Kita hanya pinjaman dunia
Yang dipakai hanya untuk sesaat
Alam bakalah negeri yang kekal
Akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya
Sumber : Kompasiana
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar