Selamat Datang

Selamat Datang, Diharapkan bersedia untuk memberikan komentar dan saran. Terima Kasih

Minggu, 27 Februari 2011

Presiden Dari Sumatera


Sebagai penjabat presiden,umumnya orang Indonesia hanya mengenal Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putrie dan Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal masih ada dua lagi presiden Indonesia dan jarang sekali disebut. Yakni Syafrudin Prawiranegara dan Mr. Asaat.

Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten, 28 Februari 1911. Beliau adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.



Di masa kecilnya akrab dengan panggilan “Kuding”, dalam tubuh Syafruddin mengalir darah campuran Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Menikah dengan putri bangsawan Banten, lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Itulah ayah Kuding yang, walaupun bekerja sebagai jaksa, cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang Belanda ke Jawa Timur.

Kuding, yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, memiliki cita-cita tinggi — “Ingin menjadi orang besar,” katanya. Itulah sebabnya ia masuk Sekolah Tinggi Hukum (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Jakarta (Batavia).

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.

kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra
Ketika Belanda melakukan agresi militernya yang kedua di Indonesia pada tanggal 19 Desember 1949, Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berbunyi, “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu-Kota Jogyakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra”.

Telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi di karenakan sulitnya sistem komunikasi pada saat itu, namun ternyata pada saat bersamaan ketika mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Sjafruddin Prawiranegara segera mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatra Mr TM Hasan menyetujui usul itu “demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara”.

Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dijuluki “penyelamat Republik”. Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, pemerintahan Republik Indonesia masih tetap eksis meskipun para pemimpin Indonesia seperti Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Sjafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya yang terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan waktu itu “ketua”, namun kedudukannya sama dengan presiden.

Sjafruddin menyerahkan mandatnya kemudian kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia sebagai negara bangsa yang sedang mempertaankan kemerdekaan dari agresor Belanda yang ingin kembali berkuasa.

Setelah menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden Soekarno, Syafruddin Prawiranegara tetap terlibat dalam pemerintahan dengan menjadi menteri keuangan. Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.

PRRI 
Akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan juga pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat, pada awal tahun 1958, Syafruddin Prawiranegara dan beberapa tokoh lainnya mendirikan PRRI yang berbasis di sumatera tengah dan ia di tunjuk sebagai Presidennya.

Dakwah
Setelah bertahun-tahun berkarir di dunia politik, Syafrudin Prawiranegara akhirnya memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Dan, ternyata, tidak mudah. Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Juni 1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A’raf, Tanjung Priok, Jakarta.

“Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah,” ujar ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI) itu tentang aktivitasnya itu.

Di tengah kesibukannya sebagai mubalig, bekas gubernur Bank Sentral 1951 ini masih sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia.

Syafruddin Prawiranegara meninggal pada 15 Februari 1989 di makamkan di Tanah Kusir Jakarta Selatan.

1 Abad Syafrudin Prawiranegara

Jakarta-Puncak acara satu abad Sjafruddin Prawiranegara dipilih tanggal 28 Februari 2011, bertepatan tanggal kelahirannya, di Kantor Pusat Bank Indonesia (BI) di Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, Panitia Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011) meluncurkan buku biografi Mr Sjafruddin Prawiranegara, Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia).

Panitia menyelenggarakan serangkaian acara satu abad Sjafruddin Prawiranegara melalui seminar-seminar bertema sosok dan kiprah Sjafruddin, utamanya selaku Presiden/Ketua PDRI, dibantu wakilnya Teuku Mohammad Hasan. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) turut memfasilitasi acara pengakuan jasa Sjafruddin sebagai Menteri Kemakmuran RI yang membentuk “Pemerintahan Republik Darurat” di Sumatera.

Menurut Ketua Panitia, Andi Mapetahang Fatwa atau AM Fatwa, serangkaian acara bermaksud menghimpun sejarah sosok dan kiprah Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011) yang tidak tercatat. “Ada serpihan sejarah yang tidak tercatat, apalagi ia belum menjadi pahlawan nasional,” kata Fatwa, juga anggota DPD asal DKI Jakarta, di Kompleks Parlemen (MPR/DPR/DPD), Senayan, Jakarta, Sabtu (26/2).

Fatwa menjelaskan, rencananya puncak acara dihadiri Wakil Presiden Boediono menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tengah melawat ke Brunei Darussalam. Setelah pengantar acara, Ketua Panitia meluncurkan buku biografi Sjafruddin diikuti sambutan Gubernur BI, pembacaan pidato Presiden, puisi oleh Taufiq Ismail, serta hiburan biola Idris Sardi dan lagu-lagu Bimbo.

Setelah puncak acara, panitia menyelenggarakan seminar sosok dan kiprah Sjafruddin di Gedung DPD di Jakarta, seminar pemikiran ekonomi Sjafruddin di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) di Semarang yang rencananya dihadiri mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim, seminar napak tilas perjuangan Sjafruddin di Padang Aro (Solok Selatan), serta seminar-seminar PDRI di Padang (Sumatera Barat) dan Banda Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam).

Fatwa juga mengatakan, peringatan satu abad Sjafruddin Prawiranegara bertujuan agar rakyat Indonesia, utamanya kaum muda yang relatif tidak begitu mengenal sosok dan kiprahnya, menjadi lebih mengenal Sjafruddin sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan. “Kami mengajak seluruh rakyat Indonesia agar berdamai dengan sejarah,” ujarnya, apalagi Pemerintah telah menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara.

Sampai saat ini Mr. Presiden kita belum juga mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, hal ini membuat kita terutama generasi muda berdosa jika tidak menghargai jasa-jasa beliau yang sangat penting berkenaan dengan penyelamatan Republik ini dari kekosongan kekuasaan.


Sumber : Kompasiana

Selengkapnya...

Sabtu, 19 Februari 2011

Resep Untuk Hilangkan Selulit

Tak perlu pusing lagi mencari krim yang ampuh untuk mengatasi selulit di paha, perut, dan bokong Anda. Ternyata Anda bisa dengan mudah meracik sendiri 'obatnya'. Bahan utamanya: ampas kopi!

Tak peduli berapa umur Anda, apa jenis kulit Anda, dan berapa berat badan Anda, selulit selalu jadi musuh besar. Ia biasanya muncul di paha, perut, dan bokong, yang membuat kulit kita terlihat bergaris-garis kasar bak kulit jeruk. Selama bertahun-tahun, wanita di seluruh dunia mencari berbagai krim dan obat untuk menghilangkan selulit. Padahal, hanya berbekal serbuk kopi, kita bisa meracik ramuannya sendiri, lho.


Salah satu metode yang paling ampuh untuk menghilangkan selulit adalah pijat. Dengan pijat, sirkulasi darah jadi lebih lancar, dan sel-sel lemak bisa lebih mudah dihancurkan. 

Sementara itu, penelitian menunjukkan bahwa krim antiselulit yang dianggap paling ampuh adalah yang mengandung kafein. Ternyata kafein bisa melebarkan pembuluh darah, sehingga sirkulasi dan aliran darah menjadi lebih lancar. Kafein juga bisa mengurangi kadar penimbunan air, yang merupakan salah satu penyebab terdorongnya lemak ke kulit dan menjadi selulit.

Dua fakta ini jadi cukup bukti untuk meyakinkan kita bahwa salah satu solusi paling ampuh menghadapi selulit adalah pijat dengan ramuan yang mengandung kafein. Ini resepnya.

Resep 1
1 cangkir ampas kopi yang masih baru
1 putih telur
1 sendok makan minyak zaitun
Campurkan bahan-bahan di atas dan gunakan untuk memijat bagian tubuh Anda yang berselulit. Pijat dengan gerakan memutar, kemudian bilas. Ramuan ini juga bisa dioleskan ke selulit, kemudian 'bungkus' bagian tersebut dengan plastik dan diamkan selama 5-10 menit. Untuk hasil yang optimal, lakukan ritual ini 3 kali seminggu.

Resep 2
1/4 cangkir ampas kopi hangat
1 sendok makan minyak zaitun
Campurkan bahan-bahan di atas, kemudian balurkan ke atas loofah atau handuk wash lap sebelum memijat bagian yang berselulit. Lakukan 2 kali seminggu.

Resep 3
Campurkan ampas kopi dengan sabun cair atau body lotion. Balurkan ke tubuh, diamkan beberapa menit, lalu bilas. Lakukan setiap hari.


Sumber : Yahoo

Selengkapnya...

Jumat, 18 Februari 2011

PEKERJAAN SOSIAL DAN KEMISKINAN

A. PENDAHULUAN

Situasi sosial dunia dewasa ini ditandai kontraksi. Meskipun sejak tahun 1970 pembangunan sosial beberapa negara mengalami kemajuan, sebagian besar bangsa masih dilanda perang, konflik sipil, pelanggaran HAM, pemerintahan korup, tekanan penduduk dan kemiskinan. Keadaan fisik dunia pun terus memprihatinkan. Masyarakat di berbagai belahan dunia menghadapi penurunan kualitas hidup akibat polusi, deforestasi, erosi tanah, kepunahan binatang, bencana alam, dan degradasi lingkungan hidup serta keragaman hayati.
Sebuah studi komprehensif yang dilakukan Bank Dunia memperkirakan bahwa 1,2 milyar penduduk dunia hidup dalam kemiskinan. Setengah dari jumlah itu, hidup dalam kemiskinan absolut: tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum yang paling dasar sekalipun. UNDP memperkirakan bahwa 2/3 penduduk miskin di dunia berada di 9 negara Afrika-Asia dan 1 Amerika Latin: Ethiopia, Nigeria, Bangladesh, India, Indonesia, Pakistan, Pilipina, Cina, Viet Nam, dan Brazil. Sebagian besar penduduk miskin adalah wanita dan anak-anak di pedesaan. Kondisi kemiskinan sangat akut terutama pada keluarga yang dikepalai wanita yang suaminya pergi ke kota mencari pekerjaan. Seperti dilansir UNDP (1994), dunia kini bukan saja sedang mengalami globalisasi ekonomi, melainkan juga globalisasi kemiskinan. “Kemiskinan kini tidak lagi mengenal batas negara. Kemiskinan telah menjadi fenomena global. Ia berjalan menyebrangi perbatasan, tanpa paspor, dalam bentuk perdagangan obat-obat terlarang, penyakit, polusi, migrasi, terorisme, dan ketidakstabilan politik.”


Dua masalah serius yang menyebabkan rendahnya pembangunan sosial di negara-negara berkembang dan terbelakang adalah tekanan penduduk dan kemiskinan. Tingkat pertumbuhan penduduk dunia tahun 1995 mencapai 1,7%. Dengan tingkat pertumbuhan itu, jumlah penduduk dunia akan mencapai 6,1 miliar di tahun 2000, 7 miliar di tahun 2010, dan 8,2 miliar pada tahun 2025. Ironisnya, 80% dari pertumbuhan penduduk dunia sejak tahun 1960 terkonsentrasi di Asia, Afrika dan Amerika Latin, dan 95% dari peningkatan ini terkonsentrasi di negara-negara miskin di wilayah tersebut.
Berdasarkan studi terhadap 160 negara, Estes (1998) mengklasifikasikan potret pembangunan sosial kedalam tiga kategori: Negara Maju (World Social Development Leaders), Negara Berkembang Menengah (Middle Performing Countries), dan Negara Berkembang Terbelakang (Socially Least Developing Countries).
Terdapat 33 negara yang masuk kategori Negara Maju. Sebanyak 26 negara berada di kawasan Eropa (Prancis, Jerman, Belanda, Inggris,dst.) dan 6 diantaranya masuk bagian Eropa Timur dan Tengah (Bulgaria, Hongaria, Polandia, Slovenia, Republik Slovak dan Czechnya). Dua negara, Estonia dan Ukraina, merupakan negara yang baru merdeka dari bekas Uni Sovyet. Mayoritas negara-negara ini memiliki sejarah demokrasi yang kukuh dan sistem ekonomi terbuka. Kondisi ekonominya sangat baik dan stabil. Rata-rata GDP mencapai $18.700 dengan inflasi yang relatif rendah (3,1%). Tingkat tabungan dan investasi tinggi, sedangkan utang luar negerinya sangat rendah. Sebagian besar Negara Maju adalah negara kecil dengan penduduk kurang dari 25 juta dengan tingkat pertumbuhan penduduk 0,4% per tahun. Tingkat kematian bayi di negara-negara ini sangat rendah, hanya 8 orang per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan usia harapan hidup mencapai 79 tahun dengan ketergantungan anak hanya 20%. Sebagian besar penduduknya (98%) dapat membaca dan melanjutkan pendidikan tinggi. Satu faktor utama yang menyebabkan majunya pembangunan sosial di negara-negara ini adalah adanya jaminan sosial universal yang melindungi setiap penduduknya dari resiko kehilangan pendapatan, seperti kecelakaan kerja, sakit, cacat, masa tua, hamil, dan pengangguran. Sebesar 46% dari GNP-nya dikeluarkan untuk mebiayai berbagai pelayanan sosial dan kesehatan (OECD, 1996).
Negara-negara yang masuk kategori Negara Berkembang Menengah menyebar diseluruh wilayah geografis: Asia (36 negara), Amerika Latin (22), Afrika (10), dan Oceania (1). Sebagian besar negara-negara ini telah memiliki apa yang disebut “social ingredients” yang diperlukan untuk mencapai kondisi sosial dan ekonomi maju, seperti stabilitas politik, dinamika ekonomi, akses ke sumber daya alam (khususnya enegi), kualitas kesehatan, pendidikan dan sistem jaminan sosial. GNP per kapita di Negara Berkembang Menengah juga relatif tinggi, sekitar US$4910 dengan pertumbuhan 2,3% per tahun dan laju inflasi 7% per tahun. Tingkat pengangguran relatif rendah, sekitar 13,1% dari jumlah angkatan kerja. Namun demikian, beberapa negara masih memiliki kondisi sosial ekonomi yang rentan, seperti pemerintahan korup, jumlah dan pertumbuhan penduduk tinggi, tingginya pengangguran dan meluasnya kemiskinan.
Negara yang termasuk kategori Negara Berkembang Terbelakang berjumlah 38. Sebagian besar berada di Afrika (29 negara), 7 negara di Asia,1 negara di Amerika, dan 1 negara di Pasifik Selatan. Terbelakangnya pembangunan sosial di negara ini terlihat dari rendahnya kualitas hidup, seperti rendahnya usia harapan hidup (51 tahun), tingginya kematian bayi (110/1000) dan anak (177/1000). Tingginya kematian bayi dan anak merupakan yang tertinggi di dunia yang diakibatkan oleh infeksi dan penyakit menular.
Jumlah dan pertumbuhan penduduk di Negara Berkembang Terbelakang sangat tinggi, terutama disebabkan oleh rendahnya penggunaan alat KB dan tingginya migrasi internal. Yang penting dicatat, migrasi penduduk di negara-negara ini tidak hanya dipengaruhi oleh motive ekonomi, melainkan juga oleh perang, konflik sipil dan ketidakstabilan politik. Konsekuensi sosial dari tingginya migrasi ini adalah (a) penelantaran anak, lanjut usia, dan kelompok tidak produktif di daerah pedesaan, (b) melemahnya, atau bahkan hilangnya, nilai-nilai tradisional dan keeratan keluarga, (c) memudarnya budaya dan praktek pertanian, (d) meluasnya kemiskinan, kekurangan gizi, dan kematian dini bagi orang yang tidak dapat bertahan hidup di kota besar yang padat polusi dan penduduk. Hingga hari ini, belum ada satu negarapun yang mampu mengatasi problema migrasi ini dengan efektif. 
Rata-rata GDP di negara-negara berkembang terbelakang ini sekitar US$950. Pertumbuhan ekonominya juga sangat rendah, hanya sekitar 3% dengan inflasi tinggi, mencapai 37%. Sarana komunikasi dan transportasi sangat terbatas, serta daya saing di pasar internasional juga sangat terbatas. Tabungan pemerintah dan sektor swasta sangat rendah, sementara utang luar negerinya sangat tinggi. Pemerintahan di sebagian besar negara ini sangat sentralistik. Roda ekonomi sangat tergantung pada gabungan antara pinjaman luar negeri, bantuan negara donor, dan investasi swasta dari luar negeri. Tingkat pengangguran di Negara Berkembang Terbelakang juga sangat tinggi. Meski secara resmi tercatat 20%, kenyataannya bisa lebih dari itu. Pengangguran terutama dialami oleh wanita, laki-laki berusia lebih ari 45 tahun, para penyandang cacat dan buta hurup.
Pengeluaran negara untuk program sosial sangat minimal. Sebagian besar negara bahkan tidak menyediakan asuransi dan jaminan sosial untuk pengangguran, sakit, hamil, kematian, dan cacat. Ironisnya, pengeluaran negara untuk Hankam di negara-negara ini mencapai 4,6% dari GNPnya yang berarti 50% lebih tinggi dari pada di Negara Berkembang Menengah.
Menurut studi ini, ada tiga kecenderungan yang perlu di catat. Pertama, negara-negara yang masuk kategori Negara Maju berpusat di tiga wilayah, yaitu Australia-Selandia Baru dengan skor ISP rata-rata sebesar 84,5, Eropa (82,8) dan Amerika Utara (80,4). Ironisnya, negara-negara ini juga mengalami penurunan ISP cukup drastis dalam periode 1990-95. Amerika Utara mengalami penurunan sebesar 14%, Eropa 9%, dan Australia-Selandia Baru 9%. Penurunan ini disebabkan oleh kesulitan ekonomi yang melanda wilayah tersebut yang memuncak di tahun 1990 dan berdampak terus hingga 1995. Kedua, secara individu kategori Negara Maju didominasi oleh negara yang menerapkan sistem Negara Kesejahteraan (welfare state). Denmark meduduki peringkat 1 dengan skor ISP mencapai 98,4, diikuti oleh Norwegia (95,6), Austria (93,2), Swedia (93,1), dan Finlandia (90,8). Di negara-negara ini 40% dari anggaran belanja negaranya dikeluarkan untuk pembangunan sosial. Ketiga, mayoritas negara-negara yang berkategori Negara Berkembang Menengah terletak di kawasan Amerika Latin dengan skor ISP rata-rata 53,1 dan Asia (41,2). Sedangkan kategori Negara Berkembang Terbelakang terkonsentrasi di wilayah Afrika (20,1). Pengeluaran negara untuk pembangunan sosial di negara-negara ini tidak lebih dari 10%, dan umumnya lebih kecil daripada anggaran untuk Hankam.
Potret pembangunan sosial di dunia memperlihatkan bahwa negara-negara di dunia telah sampai pada titik persimpangan yang kritis. Beberapa negara terlihat mengalami kemajuan yang berarti, namun sebagian besar lagi masih menyimpan potensi untuk bergerak maju atau bahkan terjerembab ke belakang. Sistem ekonomi dan politik yang terbuka yang dipadukan dengan komitmen pemerintah menyelenggarakan program sosial, merupakan kunci keberhasilan negara-negara maju dalam meningkatkan kesejahteraan sosial penduduknya. Sistem ekonomi suatu negara, tidak menghalangi pemerintah untuk memberikan pelayanan sosial terbaik bagi penduduknya. Di negara-negara yang menganut sistem ekonomi pasar bebas, negara bertanggungjawab memberikan pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan, jaminan sosial) kepada penduduknya secara luas dan merata serta dijamin oleh kebijakan publik yang mengikat.
Harus diakui bahwa pembangunan sosial di Indonesia masih belum mendapat prioritas yang memadai, terutama jika dilihat dari rendahnya anggaran pemerintah untuk usaha-usaha kesejahteraan sosial (UKS) yang tidak pernah lebih dari 2% total pengeluaran pemerintah. Direstrukturisanya Depsos menjadi BKSN (Badan Kesejahteraan Sosial Nasional) menunjukkan kekurang seriusan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan sosial. Alasan pemerintah untuk menyerahkan sebagian besar (bahkan mungkin kelak seluruhnya) fungsi dan tugas pelayanan sosial (social services) kepada masyarakat menandai lemahnya komitmen dan tanggungjawab pemerintah dalam memberikan pelayanan sosial kepada rakyatnya. Pengeluaran sosial seringkali dilihat sebagai beban pemerintah, bukan sebagai investasi sosial yang penting dan strategis untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara adil dan berkesinambungan. 

B. PEKERJAAN SOSIAL
Sejak kelahirannya sekian abad lalu, pekerjaan sosial (social work) telah terlibat dalam penanggulangan kemiskinan. Perkembangan pekerjaan sosial berikutnya, khususnya dari kegiatan karitatif menjadi sebuah profesi, juga tidak dapat dilepaskan dari penanganan kemisikinan.
Penerapan the Elizabeth Poor Law di Inggris sebagai strategi menghadapi kemiskinan akibat the Great Depression tahun 1930an tercatat sebagai salah satu momentum penting dalam sejarah perkembangan profesi pekerjaan sosial. 
Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat agar mampu menjalankan tugas-tugas kehidupannya sesuai dengan peranannya. Dengan kata lain, nilai, pengetahuan dan keterampilan profesional pekerjaan sosial pada dasarnya adalah untuk meningkatkan keberfungsian sosial (social functioning) klien yang dibantunya. 
Sebagaimana dinyatakan Skidmore, Thackeray dan Farley (1991:19): ‘Social functioning to be a central purpose of social work and intervention was seen as the enhancement of social functioning.’ Keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi pekerjaan sosial. Ia merupakan pembeda antara profesi pekerjaaan sosial dengan profesi lainnya.
Menurut Hardiman dan Midgley (1982) dan Jones (1990), pekerjaan sosial di Dunia Ketiga seharusnya lebih memfokuskan pada penanganan masalah sosial yang bersifat makro, seperti kemiskinan. Karena merupakan masalah dominan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang. Sayangnya, dalam perancangan kebijakan dan program anti kemiskinan para pekerja sosial di Indonesia masih belum mampu memberikan kontribusi. Khususnya dalam merumuskan konsep dan indikator kemiskinan yang genuine dan sesuai dengan paradigma pekerjaan sosial. Penyebabnya adalah karena para teoritisi dan praktisi pekerjaan sosial di Tanah Air belum mampu memformulasikan kemiskinan sejalan dengan konsep keberfungsian sosial (social functioning), fokus pertolongan profesi ini. Hingga sekarang konsep ini masih belum dikembangkan lebih jauh untuk menganalisis masalah kemiskinan. Ketika mengukur kemiskinan, para pekerja sosial lebih confident jika memakai konsep-konsep “milik” profesi lain. Padahal konsep keberfungsian sosial merupakan “harta terpendam” yang dapat digali untuk mendekati dan mengukur kemiskinan. 

C. KEMISKINAN
Kemiskinan merupakan permasalahan kemanusiaan purba. Ia bersifat laten dan aktual sekaligus. Ia telah ada sejak peradaban manusia ada dan hingga kini masih menjadi masalah sentral di belahan bumi manapun. Kemisikinan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi persoalan kemanusiaan lainnya, seperti keterbelakangan, kebodohan, ketelantaran, kematian dini. Problema buta hurup, putus sekolah, anak jalanan, pekerja anak, perdagangan manusia (human trafficking) tidak bisa dipisahkan dari masalah kemiskinan.
Berbagai upaya telah dilakukan, beragam kebijakan dan program telah disebar-terapkan, berjumlah dana telah dikeluarkan demi menanggulangi kemiskinan. Tak terhitung berapa kajian dan ulasan telah dilakukan di universitas, hotel berbintang, dan tempat lainnya. Pertanyaannya: mengapa kemisikinan masih menjadi bayangan buruk wajah kemanusiaan kita hingga saat ini?
Meskipun penanganan kemiskinan bukan usaha mudah, diskusi dan penggagasan aksi-tindak tidak boleh surut kebelakang. Untuk meretas jalan pensejahteraan, pemahaman mengenai konsep dan strategi penanggulangan kemisikinan masih harus terus dikembangkan. 
Salah satu permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia yang senantiasa menuntut keterlibatan pekerjaan sosial dalam penanganannya adalah masalah kemiskinan. Masalah ini menjadi isu sentral terutama setelah Indonesia dilanda krisis multidimensional yang memuncak pada periode 1997-1999. Setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara spektakuler dari 40,1 persen menjadi 11,3 persen, jumlah orang miskin meningkat kembali dengan tajam, terutama selama krisis ekonomi. Studi yang dilakukan BPS, UNDP dan UNSFIR menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada periode 1996-1998, meningkat dengan tajam dari 22,5 juta jiwa (11,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa (BPS, 1999). Sementara itu, International Labour Organisation (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3 persen dari seluruh jumlah penduduk (BPS, 1999). Tahun 2002, jumlah orang miskin turun kembali menjadi 36 juta jiwa atau sekitar 18 dari populasi Indonesia (Republika, 11 Januari 2003).
Angka kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika dalam kategori kemiskinan dimasukan Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta orang. PPKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PPKS lebih memprihatinkan ketimbang orang miskin. Selain memiliki kekurangan pangan, sandang dan papan, kelompok rentan (vulnerable group) ini mengalami pula ketelantaran psikologis, sosial dan politik. 
Selain kelompok di atas, terdapat juga kecenderungan dimana krisis ekonomi telah meningkatkan jumlah orang yang bekerja di sektor informal (Suharto, 2002). Merosotnya pertumbuhan ekonomi, dilikuidasinya sejumlah kantor swasta dan pemerintah, dan dirampingkannya struktur industri formal telah mendorong orang untuk memasuki sektor informal yang lebih fleksibel. Studi ILO (1998) memperkirakan bahwa selama periode krisis antara tahun 1997 dan 1998, pemutusan hubungan kerja terhadap 5,4 juta pekerja pada sektor industri modern telah menurunkan jumlah pekerja formal dari 35 persen menjadi 30 persen. Menurut Tambunan (2000), sedikitnya setengah dari para penganggur baru tersebut diserap oleh sektor informal dan industri kecil dan rumah-tangga lainnya. Pada sektor informal perkotaan, khususnya yang menyangkut kasus pedagang kaki lima, peningkatannya bahkan lebih dramatis lagi. Di Jakarta dan Bandung, misalnya, pada periode akhir 1996-1999 pertumbuhan pedagang kaki lima mencapai 300 persen (Kompas, 23 November 1998; Pikiran Rakyat, 11 October 1999). Dilihat dari jumlah dan potensinya, pekerja sektor informal ini sangat besar. Namun demikian, seperti halnya dua kelompok masyarakat di atas, kondisi sosial ekonomi pekerja sektor informal masih berada dalam kondisi miskin dan rentan (Suharto, 2002).
Kementerian Sosial (dulu Departemen Sosial) yang berdiri sejak Republik ini berdiri tidak pernah absen dalam mengkaji masalah kemiskinan ini, termasuk melaksanakan program-program kesejahteraan sosial – yang dikenal PROKESOS – yang dilaksanakan baik secara intra-kementerian maupun antar-kementerian bekerjasama dengan kementerian-kementerian lain secara lintas sektoral. Secara garis besar, pendekatan kemensos dalam menelaah dan menangani kemiskinan sangat dipengaruhi oleh perspektif pekerjaan sosial (social work). Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-kegiatan sukarela atau pekerjaan-pekerjaan amal begitu saja, melainkan merupakan profesi pertolongan kemanusiaan yang memiliki dasar-dasar keilmuan (body of knowledge), nilai-nilai (body of value) dan keterampilan (body of skils) profesional yang umumnya diperoleh melalui pendidikan tinggi pekerjaan sosial (S1, S2 dan S3). 

Teori Neo-liberal dan Sosial Demokrat Mengenai Kemiskinan 
Kemiskinan pada hakekatnya merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak umat manusia ada. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks, berwayuh wajah, dan tampaknya akan terus menjadi persoalan aktual dari masa ke masa. Meskipun sampai saat ini belum ditemukan suatu rumusan maupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling jitu dan sempurna, penemu-kenalan konsep dan strategi penanganan kemiskinan harus terus menerus diupayakan.
Terdapat banyak sekali teori dan pendekatan dalam memahami kemiskinan. Namun bila disederhanakan, setidaknya dalam konteks diskusi ini, maka terdapat dua paradigma atau teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan: yakni paradigma neo-liberal dan sosial demokrat yang memandang kemiskinan dari kacamata struktural dan individual. Pandangan ini kemudian menjadi basis dalam menganalisis kemesikinan maupun merumuskan kebijakan dan program-program anti kemiskinan (lihat Tabel 1). 
Teori neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes, John Lock dan John Stuart Mill yang intinya menyerukan bahwa komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith, the Wealth of Nation (1776), dan Frederick Hayek, The Road to Serfdom (1944), dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal yang mengedepankan azas laissez faire, yang oleh Cheyne, O’Brien dan Belgrave (1998:72) disebut sebagai ide yang mengunggulkan “mekanisme pasar bebas” dan mengusulkan “the almost complete absence of state’s intervention in the economy.” Secara garis besar, para pendukung neo-liberal berargumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dan/atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung, strategi penaggulangan kemiskinan harus bersifat “residual”, sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembaga-lembaga keagamaan. Peran negara hanyalah sebagai “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya (Shannon, 1991; Spicker, 1995; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998). Penerapan program-program structural adjustment, seperti Program Jaringan Pengaman Sosial atau JPS, di beberapa negara merupakan contoh kongkrit dari pengaruh neo-liberal dalam bidang penanggulangan kemiskinan ini. 




Keyakinan yang berlebihan tehadap keunggulan mekanisme pasar dan pertumbuhan ekonomi yang secara alamiah dianggap akan mampu mengatasi kemiskinan dan ketidakdilan sosial mendapat kritik dari kaum sosial demokrat. Berpijak pada analisis Karl Marx dan Frederick Engels, pendukung sosial demokrat menyatakan bahwa “a free market did not lead to greater social wealth, but to greater poverty and exploitation…a society is just when people’s needs are met, and when inequality and exploitation in economic and social relations are eliminated” (Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998: 91 dan 97). 
Teori sosial demokrat memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Teori yang berporos pada prinsip-prinsip ekonomi campuran (mixed economy) dan majemen ekonomi Keynesian ini, muncul sebagai jawaban terhadap depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1920-an dan awal 1930-an. Sistem negara kesejahteraan yang menekankan pentingnya manajemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan sosial, sangat dipengaruhi oleh pendekatan “ekonomi manajemen-permintaan” (demand-management economics) gaya Keynesian ini.
Meskipun tidak setuju sepenuhnya terhadap sistem pasar bebas, kaum sosial demokrat tidak memandang sistem ekonomi kapitalis sebagai evil. Bahkan kapitalis masih dipandang sebagai bentuk pengorganisasian ekonomi yang paling efektif. Hanya saja, kapitalisme perlu dilengkapi dengan sistem negara kesejahteraan agar lebih berwajah manusiawi. “The welfare state acts as the human face of capitalism,” demikian menurut Cheyne, O’Brien dan Belgrave, (1998:79). Pendukung sosial demokrat berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber, seperti pendidikian, kesehatan yang baik dan pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih dari sekadar bebas dari pengaruh luar; melainkan pula bebas dalam menentukan pilihan-pilihan (choices). Dengan kata lain kebebasan berarti memiliki kemampuan (capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan menghindari kematian dini, kemampuan menghindari kekurangan gizi, kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi. Negara karenanya memiliki peranan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Menurut pandangan sosial demokrat, strategi kemiskinan haruslah bersifat institusional (melembaga). Program-program jaminan sosial dan bantuan sosial yang dianut di AS, Eropa Barat, dan Jepang, merupakan contoh strategi anti kemiskinan yang diwarnai oleh teori sosial demokrat. Jaminan sosial yang berbentuk pemberian tunjangan pendapatan atau dana pensiun, misalnya, dapat meningkatkan kebebasan karena dapat menyediakan penghasilan dasar dengan mana orang akan memiliki kemampuan (capabilities) untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya (choices). Sebaliknya, ketiadaan pelayanan dasar tersebut dapat menyebabkan ketergantungan (dependency) karena dapat membuat orang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya.
Dirumuskan secara tajam, maka dapat dikatakan bahwa kaum neoliberal memandang bahwa strategi penanganan kemiskinan yang melembaga merupakan tindakan yang tidak ekonomis dan menyebabkan ketergantungan. Sebaliknya, pendukung sosial demokrat meyakini bahwa penangananan kemiskinan yang bersifat residual, beorientasi proyek jangka pendek, justru merupakan strategi yang hanya menghabiskan dana saja karena efeknya juga singkat, terbatas dan tidak berwawasan pemberdayaan dan keberlanjutan. Apabila kaum neoliberal melihat bahwa jaminan sosial dapat menghambat “kebebasan”, kaum sosial demokrat justru meyakini bahwa ketiadaan sumber-sumber finansial yang mapan itulah yang justru dapat menghilangkan “kebebasan”, karena membatasi dan bahkan menghilangkan kemampuan individu dalam menentukan pilihan-pilihannya (choices).

INDIKATOR MASUKAN DAN KELUARAN 
Kemiskinan memiliki dimensi yang luas. Konsep kemiskinan memiliki wayuh arti, tergantung dari perspektif yang digunakan: apakah bermatra sosio-kultural, ekonomi, psikologi, atau politik. Seringkali kemiskinan diartikan dengan merujuk pada faktor-faktor yang menyebabkannya. Misalnya, pada konsep mengenai kemiskinan kebudayaan dan kemiskinan struktural. Yang pertama melihat budaya kemiskinan seperti malas, apatis, kurang berjiwa wiraswasta sebagai penyebab seseorang miskin. Yang kedua menilai bahwa struktur sosial yang tidak adil, korup, paternalistik sebagai penyebab kemiskinan. Sejalan dengan pendekatan ini, operasionalisasi kemiskinan biasanya dirumuskan berdasarkan indikator-indikator masukan (input indicators).
Pendekatan lainnya, melihat kemiskinan dari indikator keluaran (output indicators). Di sini, kemiskinan dilihat dari gejala atau hasil (outcome) yang ditimbulkannya. Seseorang dikatakan miskin, misalnya, kalau memiliki pendapatan rendah, rumah tidak layak huni, atau buta hurup. Pendekatan ini menghasilkan dua cara dalam mengukur kemiskinan. Cara pertama adalah dengan menyusun indikator tunggal, seperti pendapatan atau pengeluaran yang kemudian dibakukan menjadi “garis kemiskinan” (poverty line). Garis kemiskinan yang sering dijadikan rujukan internasional antara lain sebesar $1 atau $2 AS per hari per kapita. Bank Dunia adalah badan internasional yang seringkali menggunakan cara ini. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) biasanya mengeluarkan garis kemiskinan yang disesuaikan dengan wilayah pedesaan dan perkotaan serta kabupaten/kota di Indonesia. Saat ini, garis kemiskinan yang bisa dipakai secara luas adalah Rp.100.000 per kapita per bulan, tanpa memperhatikan perbedaan wilayah. Cara kedua adalah dengan menyusun indikator komposit. Selain pendapatan atau pengeluaran, indikator komposit biasanya terdiri dari angka melek hurup, angka harapan hidup, atau akses kepada air bersih. Badan dunia yang menggunakan cara kedua adalah UNDP (United Nations Development Programme). Produk UNDP yang dikenal luas untuk mengukur kemajuan dan kemiskinan adalah HDI (Human Development Index) dan HPI (Human Poverty Index).
Dengan demikian, kalau cara pertama mengukur kemiskinan hanya dari aspek ekonomi, cara kedua melibatkan aspek pendidikan dan kesehatan. Meskipun kedua cara memiliki keunggulan dan kelemahan, cara kedua dapat dipandang sebagai pendekatan yang lebih baik, karena dapat menggambarkan kemiskinan lebih tepat dan akurat (lihat Suharto, 2003).
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang tidak mudah diatasi. Namun, dengan pendekatan yang tepat, kemiskinan akan lebih mudah didekati. Penanggulangan kemiskinan memerlukan pemahaman mengenai dimensi dan pengukuran kemiskinan yang operasional. Setelah kemiskinan dapat dipotret secara akurat, strategi anti kemiskinan dapat dikembangkan. Strategi tersebut sebaiknya menyentuh pendekatan langsung dan tidak langsung, mikro dan makro, yang dilakukan secara simultan dan berkelanjutan. Komite Penanggulangan Kemiskinan bisa memulai agendanya dari pendekatan seperti ini.



Paradigma Lama
Hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi (the modernisation paradigm) yang dimotori oleh Bank Dunia. Paradigma ini didasari oleh teori-teori pertumbuhan ekonomi, human capital, dan the production-centred model (Elson, 1997). Sejak pendapatan nasional (GNP) mulai dijadikan indikator pembangunan tahun 1950-an, para ilmu sosial selalu merujuk pada pendekatan tersebut manakala berbicara masalah kemiskinan satu negara. Pengukuran kemiskinan kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverty yang menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator “garis kemiskinan”.
Meskipun GNP dapat dijadikan ukuran untuk menelaah performa pembangunan suatu negara, banyak ahli menunjukkan kelemahan pendekatan ini.
Haq (1995:46), misalnya, menyatakan: “GNP reflects market prices in monetary terms. Those prices quietly register the prevailing economic and purchasing power in the system – but they are silent about the distribution, character or quality of economic growth. GNP also leaves out all activities that are not monetised – household work, subsistence agriculture, unpaid services. And what is more serious, GNP is one-dimensional: it fails to capture the cultural, social, political and many other choices that people make.”
Seperti halnya GNP, pendekatan income poverty juga memiliki beberapa kekurangan. Menurut Satterthwaite (1997) sedikitnya ada tiga kelemahan pendekatan income poverty: (a) kurang memberi perhatian pada dimensi sosial dan bentuk-bentuk kesengsaraan orang miskin, (b) tidak mempertimbangkan keterlibatan orang miskin dalam menghadapi kemiskinannya, dan (c) tidak menerangkan faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan.
Karena pendekatan GNP dan income poverty memiliki kelemahan dalam memotret kemiskinan, sejak tahun 1970-an telah dikembangkan berbagai pendekatan alternatif. Dintaranya adalah kombinasi garis kemiskinan dan distribusi pendapatan yang dikembangkan Sen (1973); Social Accounting Matrix (SAM) oleh Pyatt dan Round (1977), dan Physical Quality of Life Index (PQLI) oleh Morris (1977).
Di bawah kepemimpinan ekonom asal Pakistan, Mahbub Ul Haq, pada tahun 1990an UNDP memperkenalkan pendekatan Human Development yang diformulasikan dalam bentuk Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) dan Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index). Pendekatan ini relatif lebih komprehensif dan mencakup faktor ekonomi, sosial dan budaya si miskin. Berporos pada ide-ide heterodox dari paradigma popular development, pendekatan ini memadukan model kebutuhan dasar (basic needs model) yang digagas Paul Streeten dan konsep kapabilitas (capability) yang dikembangkan Pemenang Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen.

Perlu Paradigma Baru
Bila dicermati, semua paradigma kemiskinan terdahulu masih tetap menyimpan kelemahan. Konsepsinya masih melihat kemiskinan sebagai kemiskinan individu dan kurang memperhatikan kemiskinan struktural. Akibatnya, aspek aktor atau pelaku kemiskinan serta sebab-sebab yang mempengaruhinya belum tersentuh secara memadai.
Sistem pengukuran dan indikator yang digunakannya terfokus pada “kondisi” atau “keadaan” kemiskinan berdasarkan faktor-faktor ekonomi yang dominan. Orang miskin hanya dipandang sebagai “orang yang serba tidak memiliki”: tidak memiliki pendapatan tinggi, tidak terdidik, tidak sehat, dsb.
Metodanya masih berpijak pada outcome indicators sehingga belum menjangkau variabel-variabel yang menunjukkan dinamika kemiskinan. Si miskin dilihat hanya sebagai “korban pasif” dan objek penelitian. Bukan sebagai “manusia” (human being) yang memiliki “sesuatu” yang dapat digunakannya baik dalam mengidentifikasi kondisi kehidupannya maupun usaha-usaha perbaikan yang dilakukan mereka sendiri.
Kelemahan paradigma lama di atas menuntut perubahan pada fokus pengkajian kemiskinan, khususnya menyangkut kerangka konseptual dan metodologi pengukuran kemiskinan. Dalam konteks ini, keberfungsian sosial dapat dikembangkan sebagai paradigma baru dalam mengkaji kemiskinan.
Dalam upaya mengatasi kemiskinan, diperlukan sebuah kajian yang lengkap sebagai acuan perancangan kebijakan dan program anti kemiskinan. Sayangnya, hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi (modernisation paradigm) yang dimotori oleh Bank Dunia. Paradigma ini bersandar pada teori-teori pertumbuhan ekonomi neo klasik (orthodox neoclassical economics) dan model yang berpusat pada produksi (production-centred model). Sejak pendapatan nasional (GNP) mulai dijadikan indikator pembangunan tahun 1950-an, misalnya, para ilmu sosial selalu merujuk pada pendekatan tersebut manakala berbicara masalah kemiskinan satu negara. Pengukuran kemiskinan kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverty yang menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator “garis kemiskinan”.
Paradigma baru studi kemiskinan sedikitnya mengusulkan empat poin yang perlu dipertimbangkan: Pertama, kemiskinan sebaiknya dilihat tidak hanya dari karakteristik si miskin secara statis. Melainkan dilihat secara dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan si miskin dalam merespon kemiskinannya. Kedua, indikator untuk mengukur kemiskinan sebaiknya tidak tunggal, melainkan indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau rumahtangga. Ketiga, konsep kemampuan sosial (social capabilities) dipandang lebih lengkap daripada konsep pendapatan (income) dalam memotret kondisi sekaligus dinamika kemiskinan. Keempat, pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin dapat difokuskan pada beberapa key indicators yang mencakup kemampuan keluarga miskin dalam memperoleh mata pencaharian (livelihood capabilities), memenuhi kebutuhan dasar (basic needs fulfillment), mengelola asset (asset management), menjangkau sumber-sumber (access to resources), berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan (access to social capital), serta kemampuan dalam menghadapi goncangan dan tekanan (cope with shocks and stresses).

D. KEBERFUNGSIAN SOSIAL 
Keberfungsian sosial mengacu pada cara yang dilakukan individu-individu atau kelompok dalam melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhannya. Konsep ini pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya.
Baker, Dubois dan Miley (1992) menyatakan bahwa keberfungsian sosial berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya, serta dalam memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa manusia adalah subyek dari segenap proses dan aktifitas kehidupannya. Bahwa manusia memiliki kemampuan dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan. Bahwa manusia memiliki dan/atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumber yang ada di sekitar dirinya.
Pendekatan keberfungsian sosial dapat menggambarkan karakteristik dan dinamika kemiskinan yang lebih realistis dan komprehensif. Ia dapat menjelaskan bagaimana keluarga miskin merespon dan mengatasi permasalahan sosial-ekonomi yang tekait dengan situasi kemiskinannya. Selaras dengan adagium pekerjaan sosial, yakni ‘to help people to help themselves’, pendekatan ini memandang orang miskin bukan sebagai objek pasif yang hanya dicirikan oleh kondisi dan karakteristik kemiskinan. Melainkan orang yang memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang sering digunakannya dalam mengatasi berbagai permasalahan seputar kemiskinannya.
Ada empat poin yang diajukan pendekatan keberfungsian sosial dalam studi kemiskinan: Pertama, kemiskinan sebaiknya tidak dilihat hanya dari karakteristik si miskin secara statis, melainkan dilihat secara dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan si miskin dalam merespon kemiskinannya. Kedua, indikator untuk mengukur kemiskinan sebaiknya tidak tunggal, melainkan indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau rumah tangga. Ketiga, konsep kemampuan sosial (social capabilities) dipandang lebih lengkap daripada konsep pendapatan (income) dalam memotret kondisi sekaligus dinamika kemiskinan. Keempat, pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin dapat difokuskan pada beberapa key indicators yang mencakup kemampuan keluarga miskin memperoleh mata pencaharian (livelihood capabilities), memenuhi kebutuhan dasar (basic needs fulfillment), mengelola asset (asset management), menjangkau sumber-sumber (access to resources), berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan (access to social capital), serta kemampuan dalam menghadapi goncangan dan tekanan (cope with shocks and stresses). 

E. STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN MENURUT PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL
Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan yang fokus utamanya untuk membantu orang agar dapat membantu dirinya sendiri. Dalam proses pertolongannya, pekerjaan sosial berpijak pada nilai, pengetahuan dan keterampilan profesional yang mengedepankan prinsip keberfungsian sosial (social functioning) (Siporin, 1975; Zastrow, 1982; 1989; Morales, 1989; Suharto, 1997). Konsep keberfungsian sosial pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa klien adalah subyek pembangunan; bahwa klien memiliki kapabilitas dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan, bahwa klien memiliki dan/atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumber yang ada di sekitar dirinya.
Sebagamana halnya profesi kedokteran berkaitan dengan konsepsi “kesehatan”, psikolog dengan konsepsi “perilaku adekwat”, guru dengan konsepsi “pendidikan”, dan pengacara dengan konsepsi “keadilan”, keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi pekerjaan sosial karena merupakan pembeda antara profesi pekerjaaan sosial dengan profesi lainnya. Morales dan Sheafor (1989:18) menyatakan: 
“ Social functioning is a helpful concept because it takes into consideration both the environment characteristics of the person and the forces from the environment. It suggests that a person brings to the situation a set of behaviors, needs, and beliefs that are the result of his or her unique experiences from birth. Yet it also recognizes that whatever is brought to the situation must be related to the world as that person confronts it. It is in the transactions between the person and the parts of that person’s world that the quality of life can be enhanced or damaged. Herein lies the uniqueness of social work “. 
Dengan demikian, jika keseluruhan konsepsi tersebut dipandang sebagai kontribusi setiap profesi terhadap pembangunan sosial dan kesejahteraan sosial dalam domain pembangunan nasional, maka dapat dimodelkan sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1 (Suharto, 1997). Gambar tersebut menunjukkan bahwa dalam domain pembangunan nasional, terlibat banyak profesi pertolongan yang melaksanakan tugas dalam arena pembangunan sosial dan kesejahteraan sosial. Diantara profesi-profesi tersebut profesi pekerjaan sosial lebih dominan dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Sedangkan profesi lainnya lebih dominan dalam pembangunan sosial yang merupakan induk atau muara pembangunan kesejahteraan sosial.
Jika gambar tersebut dikontekstualkan dalam program pengentasan kemiskinan, maka dapat dikatakan bahwa sasaran dan garapan profesi pekerjaan sosial lebih terfokus pada konsepsi dan tugas yang disandangnya, yakni konsepsi mengenai keberfungsian sosial dalam fungsi pembangunan kesejahteraan sosial.  



Secara konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan persoalan-persoalan struktural sebagaimana diformulasikan oleh kaum sosial demokrat. Dilihat dari tingkatannya, ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu: 
1. Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial. 
2. Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak buta hurup,). 
3. Kelompok rentan (vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor” (agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status “rentan” menjadi “miskin” dan bahhkan “destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial. 

Secara tegas, memang sulit mengkategorikan bahwa sasaran garapan pekerjaan sosial (Kemensos) adalah salah satu kelompok dari ketiga kelompok di atas. Pekerjaan sosial melihat bahwa kelompok sasaran dalam menangani kemiskinan harus mencakup tiga kelompok miskin secara simultan. Dalam kaitan ini, maka seringkali orang mengklasifikasikan kemiskinan berdasarkan “status” atau “profil” yang melekat padanya yang kemudian disebut Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS). Gelandangan, pengemis, anak jalanan, suku terasing, jompo terlantar, penyandang cacat (tubuh, mental, sosial) dll adalah beberapa contoh PPKS yang sering diidentikan dengan sasaran pekerjaan sosial di Indonesia. Belum ada hasil penelitian yang komprehensif apakah mereka ini tergolong pada kelompok destitute, poor atau vulnerable. Namun dapat diasumsikan bahwa PPKS bisa berada diantara ketiga kategori kemiskinan di atas. 
Sesuai dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi penanganan kemiskinan pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Karena tugas-tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan multi-wajah, maka intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya. Prinsip ini dikenal dengan pendekatan “person-in-environment dan person-in-situation”.
Pada pendekatan pertama, pekerja sosial melihat penyebab kemiskinan dan sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan dimana si miskin tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (peer group), maupun masyarakat. Penanganan kemiskinan yang bersifat kelembagaan (institutional) biasanya didasari oleh pertimbangan ini. Beberapa bentuk PROKESOS yang telah dan sedang dikembangkan oleh Kemensos dapat disederhanakan menjadi: 
1. Pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh panti-panti sosial. 
2. Program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial. 

Pendekatan kedua, yang melihat si miskin dalam konteks situasinya, strategi pekerjaan sosial berpijak pada prinsip-prinsip individualisation dan self-determinism yang melihat si miskin secara individual yang memiliki masalah dan kemampuan unik. Program anti kemiskinan dalam kacamata ini disesuaikan dengan kejadian-kejadian dan/atau masalah-masalah yang dihadapinya. PROKESOS penanganan kemiskinan – yang pada prinsipnya memadukan pendekatan neoliberal dan sosial demokrat ini – dapat dikategorikan kedalam beberapa strategi: 
1. Strategi kedaruratan. Misalnya, bantuan uang, barang dan tenaga bagi korban bencana alam. 
2. Strategi kesementaraan atau residual. Misalnya, bantuan stimulan untuk usaha-usaha ekonomis produktif. 
3. Strategi pemberdayaan. Misalnya, program pelatihan dan pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan remaja. 
4. Strategi “penanganan bagian yang hilang”. Strategi yang oleh Caroline Moser disebut sebagai “the missing piece strategy” ini meliputi program-program yang dianggap dapat memutuskan rantai kemiskinan melalui penanganan salah satu aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan membawa dampak pada aspek-aspek lainnya. Misalnya, pemberian kredit, program KUBE atau Kelompok Usaha Bersama. 

F. PENUTUP 
Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa kemiskinan tidaklah statis. Orang miskin bukanlah orang yang pasif. Ia adalah manajer seperangkat asset yang ada diseputar diri dan lingkungannya. Keadaan ini terutama terjadi pada orang miskin yang hidup di negara yang tidak menerapkan sistem negara kesejahteraan (welfare state). Sistem yang dapat melindungi warganya menghadapi kondisi-kondisi yang memburuk yang tidak mampu ditangani oleh dirinya sendiri. Kelangsungan hidup individu dalam situasi ini seringkali tergantung pada keluarga yang secara bersama-sama dengan jaringan sosial membantu para anggotanya dengan pemberian bantuan keuangan, tempat tinggal dan bantuan-bantuan mendesak lainnya.
Pendekatan kemiskinan yang berkembang selama ini perlu dilengkapi dengan konsep keberfungsian sosial. Konsep keberfungsian sosial memperjelas analisis mengenai bagaimana orang miskin menghadapi kemiskinannya. Bagaimana struktur rumah tangga, keluarga, kekerabatan, dan jaringan sosial mempengaruhi standar kehidupan orang miskin. Konsep keberfungsian sosial lebih menekankan pada “apa yang dimiliki si miskin”, ketimbang “apa yang tidak dimiliki si miskin”. 

Analogi Ikan dan Kail
Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks yang memerlukan penanganan lintas sektoral, lintas profesional dan lintas lembaga. Kementerian Sosial merupakan salah satu lembaga pemerintah yang telah lama aktif dalam program pengentasan kemsikinan. Dalam strateginya Kemensos berpijak pada teori dan pendekatan ilmiah, terutama teori sosial demokrat dan pendekatan pekerjaan sosial. 
Strategi penanganan kemiskinan dalam persepektif pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan keberfungsian sosial si miskin (dalam arti individu dan kelompok) dalam kaitannya dengan konteks lingkungan dan sistuasi sosial. Dianalogikan dengan strategi pemberian ikan dan kail, maka strategi pengentasan kemiskinan tidak hanya bermatra individual, yakni dengan: 
1. Memberi ikan
2. Memberi kail. Lebih jauh lagi, pekerja sosial berupaya untuk mengubah struktur-struktur sosial yang tidak adil, dengan
3. Memberi keterampilan memancing
4. Menghilangkan dominasi kepemilikan kolam ikan
5. Mengusahakan perluasan akses pemasaran bagi penjualan ikan hasil memancing. 

DAFTAR PUSTAKA

MAKALAH EDI SUHARTO, PhD

1. POTRET KEMISKINAN DAN PEMBANGUNAN SOSIAL DI DUNIA 
2.KONSEP DAN STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN MENURUT PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL
3. KONSEP KEMISKINAN DAN STRATEGI PENANGGULANGANNYA
4. PEKERJAAN SOSIAL DAN PARADIGMA BARU KEMISKINAN 
5. PARADIGMA BARU STUDI KEMISKINAN 





Selengkapnya...

Rabu, 16 Februari 2011

Upacara Adat Kematian Rambu Solo di Toraja, Sulawesi Selatan




Pagi masih sangat dingin saat banyak anggota keluarga berkumpul dangan pakaian serba hitam, serba putih dan berwarna variasi. Mereka berkumpul di sekitar rumah adat tongkonan untuk melaksanakan upacara alluppia, satu dari dua bagian dalam upacara adat kematian rambu solo di Toraja. Bagian lain dari upacara rambu solo adalah rante. Dua upacara tersebut berlangsung dalam kurun waktu satu tahun.

Upacara alluppia terdiri dari ma’tundang, ma’balung (membungkus jenazah), ma’rotto (membubuhkan ornamen benang emas dan perak pada peti jenazah), dan ma’paroko alang (menurunkan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan).

Para keluarga yang telah berkumpul, laki-laki dan perempuan, kemudian bersatu membentuk lingkaran lalu melakukan tari ma’badong. Ma’badong adalah tari ratapan kesedihan karena telah kehilangan seorang anggota keluarga sekaligus ungkapan duka cita bagi keluarga terdekat yang ditinggalkan. Irama dan syairnya mistis. Suara tumbukan padi terdengar mengalun mengikuti irama dan syair tari ma’badong. Penumbuk padi adalah para wanita tua yang memang sudah mahir melakukannya.






‘Tak lama, para keluarga yang lain berdatangan satu persatu. Mereka tidak hanya datang dari sekitar wilayah Toraja, tapi juga datang dari seluruh penjuru negeri. Keluarga-keluarga di Toraja dipersatukan oleh adat, warisan nenek moyang, leluhur mereka. Mereka yang baru datang pun turut bergabung dalam lingkaran tari ma’badong.

Bagi keluarga, kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Untuk itu, merupakan kewajiban bagi mereka untuk mengadakan rambu solo sebagai penghormatan bagi arwah yang meninggal sebelum menuju ke alam baka (punyo). Jika rambu solo belum diadakan, itu berarti jenazah masih dianggap tidur. Selama rambu solo berlangsung, jenazah disemayamkan dalam peti seberat sekira 100 kilogram dan dihiasi ornamen benang emas dan perak, serta disimpan di dalam usungan berbentuk tongkonan.

Menjelang siang hari, jenazah diantar untuk disemayamkan. Para keluarga lelaki mengangkat usungan dan tau-tau, patung yang menyerupai wajah jenazah. Keberadaan tau-tau menandakan bahwa orang yang meninggal adalah dari golongan bangsawan. Sementara itu, para keluarga wanita mengangkat bentangan kain merah atau lamba-lamba yang bermakna jalan bagi jenazah untuk menuju alam baka. Panjang kain sepanjang jumlah keluarga wanita. Para lelaki dilarang bernaung di bawah lamba-lamba.





Iringan-iringan para pengantar pun berjalan menuju tempat persemayaman jenazah. Beberapa keluarga terlihat memakai pakaian adat Toraja. Mereka meneriakkan teriakan-teriakan khas dalam bahasa Toraja yang memekakan telinga. Ornamen-ornamen hiasan dari bambu juga terlihat dipegang oleh beberapa keluarga.




Sampailah iring-iringan para pengantar di wilayah persemayaman, sebuah lapangan yang dikelilingi tongkonan. Di tongkonan itu, berkumpullah para keluarga, sementara di lapangan, beberapa kerbau terlihat terikat dia simbuang batu. Simbuang batu adalah batu manhir yang menandakan bahwa kerbau yang siap dikurbankan jumlahnya paling sedikit 24 ekor.

Peti jenazah di angkat ke atas rumah tempat persemayaman yang disebut la’kiyang, rumah yang terbuat dari bambu. Peti diangkat oleh beberapa laki-laki dengan teriakan-teriakan khas dalam bahasa Toraja. Keluarga terdekat menemani jenazah di rumah tersebut.




Selanjutnya, dilaksanakanlah ma’tinggoro tedong atau ritual pemotongan kerbau di tengah lapangan. Pemotongan kerbau dilakukan hanya dengan sekali tebas oleh para pemotong. Tujuannya, sebagai bekal bagi arwah jenazah. Arwah kerbau yang dikurbankan diyakini akan menemani arwah orang yang meninggal. Kerbau yang mati langsung dikuliti; dagingnya dipotong-potong kemudian dibagikan kepada seluruh keluarga.



Ritual berikutnya adalah mappassilaga tedong atau adu kerbau. Ritual ini adalah ritual yang paling disukai penonton karena dijadikan sebagai ajang taruhan atau judi. Semakin banyak penonton; semakin banyak uang taruhan.Kerbau yang diadu adalah kerbau khas Toraja yang berkulit belang (tedong bonga) dan tanduknya bengkok ke bawah. Kerbau jenis ini sangat mahal harganya, mencapai ratusan juta rupiah. Kerbau yang kalah akan dikurbankan.





Begitulah sebagian ritual dari rambu solo. Selanjutnya, masih banyak lagi ritual yang akan dilaksanakan oleh keluarga. Jenis ritual yang dilaksanakan tergantung strata orang yang meninggal, semakin tinggi stratanya maka semakin banyak ritual yang dilaksanakan. Dan semakin tinggi pula biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakannya.

To ina indanriki’ lino

To na pake sangattu’

Kunbai lau’ ri punyo

Pa’tondokkan marendeng


Kita hanya pinjaman dunia

Yang dipakai hanya untuk sesaat

Alam bakalah negeri yang kekal

Akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya


Sumber : Kompasiana

Selengkapnya...

Senin, 14 Februari 2011

Valentine’s Day, Tragedi 14 Februari

Setiap tanggal 14 Februari, selalu ada tragedi. Pastinya membuat kita prihatin, sedih, dan juga kecewa campur marah. Mengapa harus prihatin dan sedih, padahal justru di tanggal 14 Februari itu banyak orang merayakan hari kasih sayang? Karena standar penilaian kita sebagai muslim seharusnya berbeda dengan cara pandang orang-orang selain Islam. Apa yang kita pandang baik, bisa salah dalam pandangan mereka. Apa yang mereka pandang baik, besar mungkin salah dalam pandangan kita sebagai muslim. Karena apa? Karena kita berbeda cara pandang sejak awal dalam menyikapi kehidupan ini. Itu letak masalah yang harus kita perhatikan.




Contohnya adalah Valentine’s Day. Banyak orang sigap dan gempita menyambut hajatan ini. Duit yang dikeluarkan demi pesta Valentine’s Day bukan lagi yang perlu dinilai rugi, tapi malah dianggap sebagai investasi. Alasannya: “Merayakan kasih sayang, tentu saja perlu pengorbanan. Uang sekadar alat tukar untuk membeli apa yang kita inginkan. Sama seperti ketika ortu kita mengeluarkan duit untuk biaya sekolah atau kuliah kita. Itu tandanya mereka sayang kepada kita, sehingga uang yang dimilikinya rela ditukar dengan biaya pendidikan kita, dan berharap kita kehidupannya jadi lebih baik.”

Benarkah alasan mereka? Belum tentu, bahkan bisa jadi keliru. Sebab, yang utama esensinya bukan pada “cinta dan pengorbanan untuk cinta”, tetapi letaknya pada: “apakah benar atau salah dalam mengekspresikan cinta dan pengorbanan itu.” Di sinilah perlunya memahami cara pandang Islam. Kita sebagai muslim, kadang nggak ngeh dengan cara Islam mengatur kehidupan. Inilah letak masalah kita. Semoga kita mau berpikir lebih mendalam, jernih dan ideologis.

Valentine’s Day bukan semata hari kasih sayang yang netral tanpa dinodai dengan kepentingan ideologi. Tidak. Hajatan Valentine’s Day memang disetting sedemikian rupa agar pesta yang berasal dari tradisi kaum pagan di jaman Romawi kuno ini diminati, dianggap sebagai bagian sakral dalam kesucian cinta, dijejalkan kepada benak kaum muslimin bahwa mereka harus merayakan Valentine’s Day atau minimal menerima sebagai sebuah realitas yang harus dihargai dalam kehidupan saat ini. Bahkan dalam tataran para pemilik modal, momen Valentine’s Day adalah saatnya jualan, saatnya dagang beragam pernik yang melekat erat identik dengan suasana pesta tersebut: coklat, boneka cupid, gaun pesta, dan sejenisnya. Begitulah ketika cinta dianggap netral, lalu disalah tafsirkan dan bahkan dikapitalisasi.

Bro en Sis ‘penggila’ gaulislam, di awal tulisan ini, saya juga menuliskan bahwa kita seharusnya kecewa dan marah. Lho, kenapa harus kecewa dan marah justru di saat orang gembira menebarkan aroma kasih dan sayang? Jiahahah.. itu cuma kedok sesuai kepentingan pemilik opini yang sengaja menyesatkan jalan pikir manusia. Kita sebagai muslim memang harusnya kecewa dan marah. Kecewa campur marah karena banyak remaja muslim atau para orang tua dari keluarga muslim ikut nyebur dan berbasah kuyup dalam kubangan nista bernama Valentine’s Day. Apakah belum mengerti juga bahwa pesta itu bukan berasal dari ajaran Islam? Atau, jika sudah tahu, kenapa tak mau tahu dengan terus memaksakan diri menghamba kepada arus utama penyesatan opini ini? Well, semoga bukan karena sombong dan hendak menantang kebenaran Islam.

Ketika taklid buta merajalela

Wadduuuh, nih bahasane serius bener. Hehehe.. sekali-kali bolehlah kita serius, Bro. Oya, mungkin sebagian dari kamu nggak ngeh istilah taklid buta. Kalo kudu dijelasin sih, taklid itu artinya mengikuti. Nah, kalo digabung dengan kata “buta”, maka jadinya taklid buta alias ngikutin tanpa tahu alasannya. Intinya, ngikut forever dah, sing penting gaul alasan klisenya. Piye iki rek? (sori pake bahasa planet Majapahit nih. Hehehe..)

Nah, lebih gawat bin bahaya kalo taklid buta sudah merajalela di semua aspek kehidupan dan melanda semua lapisan masyarakat. Contohnya ya, Valentine’s Day itu. Jelas-jelas bukan berasal dari Islam, tapi malah banyak kaum muslimin, khususnya remaja yang ngikut aja tanpa tahu masalahnya. Nggak ngecek bener apa salahnya, nggak ngerasa harus meragukan sama sekali. Sebaliknya malah berprinsip: “Hajar aja bleh! Yang penting gaul, bisa menyalurkan rasa cinta rame-rame, apalagi difasilitasi dan diberikan tempat layak dengan opini yang gemerlap. Apa itu salah?” Hadeuuuh.. ciloko tenan rek, kalo cara berpikir kamu kayak gini! (backsound: bisa-bisa diketawain orang gila! Amit-amit! )

Boyz and galz, kebodohan di masa lalu seharunya menjadi pelajaran supaya jangan diulang di masa sekarang. Eh, nyatanya kita masih tetap aja menyanjung nilai-nilai nenek moyang jaman baheula yang belum tentu benar semua, apalagi yang sudah jelas salah.

Kalo tidak tahu gimana? Ya, jangan nekat ngelakuin. Harus cari tahu dulu sebelum berbuat. Menurut Umar bin Khaththab ra: al-ilmu qobla al-‘amal (ilmu dahulu, sebelum beramal). Betul. Jadi, harus tahu tentang sesuatu sebelum sesuatu itu dikerjakan atau diikuti. Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS al-Israa’ [17]: 36)

Sobat gaulislam, taklid buta makin lestari ketika masyarakat secara massal ogah belajar. Sepertinya mereka senang berada dalam zona nyaman kebodohannya tanpa mau menerima kebenaran yang ada di sekitarnya. Buktinya, banyak orang “Say No to Valentine’s Day”, eh, mereka enak-enakan bikin acara “Happy Valentine’s Day”. Itu kan namanya kalo bukan bodoh ya nggak mau tahu alias saudara kembarnya sombong.

Logika berpikir sederhana kan gini: “Kok ada sih orang yang menentang Valentine’s Day? Kenapa ya?” Nah, itu langkah awal untuk cari kebenaran. Bukan malah berpikir: “Ah, itu kan pendapatnya dia. Pendapat saya kan ini.” Waduh, itu sih secara tidak langsung nggak mau nyari kebenaran, tapi mengedepankan pembenaran (apalagi sesuai hawa nafsunya semata).

Sebaliknya, orang cerdas dia juga akan bertanya: “Mengapa ya ada orang yang bela-belain bikin acara Valentine’s Day, padahal itu kan bukan dari ajaran Islam?” Lalu dia tidak berhenti dengan pertanyaan itu. Cari jawabannya dan bandingkan dengan standar yang pasti,yakni kebenaran ajaran Islam. Insya Allah ada jawabannya kalo nyarinya di tempat yang benar. Jangan di tempat yang salah ya.

Sayangnya, tradisi berpikir “skeptis” untuk mencari jawaban yang benar demi mendapatkan keyakinan yang utuh dan ajeg seringkali diabaikan. Banyaknya sih manut saja kepada pembuat opini. Padahal, tujuan memproduksi informasi itu juga tak lepas dari cara pandang. Makanya, info dan opini dari pemilik media satu dengan media lainnya bisa berbeda. Itu karena perbedaan kepentingan, Bro en Sis. Waspadalah! Tetap berpegang-teguhlah kepada ajaran Islam.

Lalu bagaimana dalam kondisi seperti ini? Percayalah kepada Allah Swt. dan RasulNya dengan menjadikan Islam sebagai ideologi kita. Islam yang akan mengatur segala aspek kehidupan kita, dari mulai bangun tidur hingga tidur lagi. Jadikan Islam sebagai jalan hidup kita. Bagaimana agar tahu aturan dan batasan dalam Islam? Ya, belajar deh jawabannya. Belajar secara intensif dan rutin. Untuk urusan belajar ini, kru gaulislam insya Allah bisa bantu deh. So, kontak aja via email atau SMS ya.

Cinta tidak netral

Kecintaan orang kafir dengan cintanya seorang muslim jelas berbeda. Karena memiliki pandangan tentang kehidupan yang berbeda. Maka, tujuan dan cara menempuhnya juga berbeda. Bahkan bisa jadi bertentangan dan menentang satu sama lain. Itu artinya, cinta tidak netral (yang netral cuma band, lho kok jadi ke sini?).

Maka, 14 Februari, bagi kaum muslimin yang sadar dan beriman, adalah tragedi salahnya ekspresi cinta. Gara-gara salah ekspresikan cinta, maka akan merusak nilai dan kesucian cinta itu sendiri. Ujungnya, akan menghilangkan kehormatan manusia dan menjerumuskannya ke dalam kubangan nista hawa nafsu yang mendompleng keindahan cinta.

Bro en Sis, dengan demikian. Sudahlah, tak perlu maksain ikut-ikutan Valentine’s Day, cukup tragedi 14 Februari berhenti di tahun lalu aja. Jangan diulang di tahun ini. Sebagai muslim, yang layak dijadikan sandaran hanyalah ajaran Islam. Ideologi Islam. Bukan ajaran lain atau ideologi lain. Sebab, cara pandang yang disusupi sebuah ideologi akan bertentangan dan bahkan menentang ideologi lain. Kita, kaum muslimin seharusnya menyandarkan alasan hanya kepada ideologi Islam. Bukan kepada ideologi lain. Jika ada kaum muslimin yang masih merengkuh nikmat semu dalam selingkuh dengan ideologi lain, itu artinya sedang menempuh jalan sesat dan perlu disadarkan sesegera mungkin.

Oya, buat kamu yang penasaran dengan asal-usul Valentine’s Day yang memang bukan berasal dari ajaran Islam, kita udah bahas di banyak artikel. Silakan kunjungi website kami, www.gaulislam.com. Cari dan dapatkan sepuasnya. Gratis.

Yuk ah, berbenah diri, jadikan Islam sebagai cara dan jalan hidup kita. Belajar dengan rajin dan tetap semangat berdakwah.

Akhirul keyboard: jaga diri, jaga keluarga, bebaskan mereka dari budaya kufur macam Valentine’s Day ini. Semangat!


Sumber : gaulislam, kompasiana
Selengkapnya...

Kamis, 10 Februari 2011

Jatuh Hati

Sekali waktu Lukman disuruh emak beli daging yang bagus, dia beli hati dan lidah. Begitu juga ketika disuruh beli yang paling busuk, dia beli hati dan lidah. Sebab apa begitu? Sebab menurut Lukman, hati merupakan sumber amal perbuatan yang baik dan lidah dapat menjalin persaudaraan. Tetapi hati juga sumber kedengkian, congkak dan suka berbangga sedang lidah adalah alat rumpi dan lebih melukai dari belati, banyak keseleonya. Kawan, berhubung ruangan sedikit, pada kesempatan ini kita obrolin soal hati saja, lidahnya nanti. Lebih enak bicara hati ke hati. Siapa tahu Anda bisa jatuh hati. Upss!
Pepatah lama; “Hati boleh panas, kepala harus tetap dingin” sudah kadaluarsa. Gak mecing kalau raja (perlambangan hati) panas panglima (perlambangan akal) adem ayem. Gak kompak. Kita ganti pantunnya menjadi “Hati hangat, kepala gak perlu obat”. Soalnya dimana hati sehat hidup pasti afiat. Kalau hati banyak karat kebenaran sulit terlihat.
Ada lagi ungkapan “Ada uang ada hati”. Ini menarik dan berhubungan dengan kebiasaan budaya yang diam-diam kita dukung, karena ada gejala dimasyarakat kita bahwa hanya yang kaya yang dihormati. Jika punya uang Anda dihormati sekalipun tidak punya hati. Artinya orang-orang akan tetap menganggap Anda seolah-olah orang yang punya hati karena adanya uang, walaupun sebenarnya tidak. Orang-orang berhimpun disekeliling, mendekat, memberi hormat dan berkhidmat. Ada banyak forum dan agenda acara menunggu agar Anda bebas bicara apa saja disitu, pembicaraan yang biasanya tidak mengatasi kemelaratan rakyat. Kata prof A Hadi, kalau seorang hidup miskin sekalipun tinggal di tengah pasar, tak seorangpun akan mengunjunginya. Akan tetapi sekalipun seorang tinggal di gunung yang terpencil tetapi kaya raya, orang akan mengunjunginya. Contoh ini cocok menggambarkan situasi kita setidaknya saat ini. Mudah-mudahan besok bisa berubah.



“Ada uang ada hati” memang konsep budaya juga kalau begitu bukan? Walaupun begitu saya ingin mengatakan tentang banyaknya orang yang saya kenal berlimpah harta sekaligus juga kekayaan hati seperti Sulaiman. Tidak perlulah kita sebutkan nama-namanya. Apalah arti sebuah nama, meski seringkali nama-nama sangat bermakna. Disini kita tidak mau bertengkar memperebutkan nama-nama dan makna-makna, apalagi benda-benda. Orang kaya yang baik hatinya itu juga nyata.
Hati-hati, amati hati. Hati menunjuk kepada keseluruhan diri. Ketika seorang jatuh hati, maka berarti jatuh keseluruhan dirinya. Anda jatuh hati pada apa atau pada siapa? Saya jatuh hati saat menyaksikan pertunjukkan teater misalnya. Yang jatuh adalah keseluruhan diri saya; mata, telinga, perasaan, imajinasi dan akal pikiran bahkan darah ikut bergolak, ardenalin memuncak. Keseluruhannya benar-benar jatuh. Bekas pengucapan di karya itu menitipkan artikulasi di hati ini. Nah jatuh yang seperti ini adalah jatuh di jalan, bukan jatuh di luar jalan. Karena karya seni kreatif adalah salah satu penunjuk jalan. Terlebih lagi jatuh tersungkur dan bersimpuh di kaki Sang Nabi dan berusaha menggapai sandal jepitnya. Atau jatuh pada Penguasa waktu, Raja di raja, Dewa segala dewa yang disebut oleh orang bijak dengan berbagai Nama itu. Jatuh dalam kepasrahan, ketundukkan dan pengharapan. Abu Said, saat diberitahu ada orang jatuh di jalan, ia berkata,”Syukurlah, ia tidak jatuh di luar jalan” Begitulah maksud kata-kata ini.
Baiklah dijelaskan lagi dengan penafsiran sendiri bahwa ini berbeda dengan jatuhnya kebanyakan kita. Jatuh kebanyakan orang adalah jatuh “di jalanan”, “di tengah jalan” atau “di pinggiran jalan”. Maknanya tentu berbeda. Jatuh di tengah jalan adalah kalah sebelum berperang, jatuh di pinggir jalan adalah orang yang diposisikan sebagai pelengkap penderita (termarjinalisasi), penonton dan bukan pelaku serta untuk selamanya akan periferal. Jatuh di jalanan menandakan orang itu luntang lantung tanpa tujuan, jalanan itu sendiri adalah kehidupannya. Akan berbeda artinya kata “Anak jalan” dengan “Anak jalanan”. Ali Topan adalah anak jalanan (dan istilah sekarang anak jalanan identik dengan tukang ngamen atau anak-anak yang bekerja sebelum waktunya, miskin dan tidak berpendidikan. Atau anak-anak yang digusur dan terpaksa hidup di jalanan), secara eksplisit mereka adalah korban dari sistem yang kita bangun. Kita menganut sistem agar sebagian besar rumah tangga orang broken home seperti ali topan korbannya, dan kita juga membangun sistem agar sebagian besar orang hidup dalam kemelaratan sebagaimana kenyataan anak-anak jalanan dan gelandangan. Tidak ada pemerataan sosial ekonomi, kesempatan kerja, pendidikan dst di negara merdeka ini. Tetapi “anak jalan” berbeda, anak ini tidak tersentuh oleh atribut kemiskinan atau kekayaan seperti ini. Tidak bergantung pada pendidikan dan pendapat. Dia mengatur sistem, cerdas secara spiritual. Para wali adalah anak jalan dan bahkan menjadi jalan itu sendiri. Jelas kan, Jalan berbeda dengan jalanan. Ada penyair penempuh jalan, tetapi ada juga penyair di jalanan. Walaupun yang dijalanan bisa juga sekaligus penempuh jalan. Kalau Ada sebutan perempuan, Anda memilih disebut perempuan dalam jalan atau perempuan jalanan kira-kira?
Menyoal jatuh hati, pahami jatuh hati. Kawan, hati yang kita bicarakan ini merupakan suatu keberadaan yang halus, bersifat rohani dan rabbani yang dikaitkan dengan pujian dan celaan. Maka ini sebetulnya wujud realitas dalam dan inti kesadaran kita. Jadi jangan serahkan hati dengan timbangan celanya. Jatuh hati mestinya hanya kepada hal yang didamba oleh bagian sebelah dalam diri kita yang patut dipuji dan suci; sunyi, indah, penuh rahasia dan memeiliki keseluruhan cerita. Tidak mengenal rasa sakit atau kematian. Tidak peduli diliputi kekayaan atau dirundung kemiskinan. Dalam kemiskinan dihias kesabaran, dalam keadaan kaya tidak pernah lalai. Jika ada sengsara dalam pengembaraannya, ini sengsara yang membawa nikmat. Semua episode adalah melulu kerinduan, berjuta indahnya, biar siang biar malam terbayang wajah-Nya.

Tahukah Anda bahwa Kekasih telah mengirimkan surat cinta-Nya untuk menyegarkan hati kita dengan cara mengungkapkan rahasi-rahasia-Nya lewat surat cinta itu? Buku suci itu lho, yang biasa Anda baca usai maghrib menjelang isya, itulah surat cinta Ilahi; Al Qur’an namanya. Ingin tahu pesan Kekasih, bacalah surat-Nya, lahir dan batinnya, dan temukan disana suatu tempat dimana engkau akan “naik”. Karena tidak ada ayat Al Qur’an yang tidak memiliki makna lahiriah, makna batiniah, batasan, dan tempat kemana kita akan naik. Dari kalimat itu kita tahu bahwa makna lahiriah itu tafsir, makna batiniahnya adalah ta’wil, batasannya adalah makna dari firman yang ada di luar pemahaman dan tempat yang boleh dicapai adalah tempat dimana orang dapat menjangkau makna itu, untuk menyaksikan Raja yang Maha tahu.

Memang , menurut tradisi kearifan menggauli surat cinta Kekasih ini ada adabnya. Konon dikatakan bahwa surat cinta ini seperti mempelai wanita yang mengenakan selubung. Jangan Anda paksa untuk menarik selubung itu. Kalau engkau menarik selubung itu dari wajahnya, dia tidak akan menunjukkan dirinya kepadamu. Ketika Anda mengkaji Al Qur’an, tetapi tidak merasakan kesenangan atau pengungkapan, itu adalah karena tindakan Anda menarik selubung telah menyebabkan diri Anda ditolak. Al Qur’an telah menipu Anda dan menunjukkan dirinya sebagai si buruk rupa. Ia berkata:”Aku bukanlah mempelai yang cantik itu”. Ia dapat menunjukkan dirinya dalam bentuk apapun yang diinginkannya. Tetapi jika Anda berhenti menarik selubungnya, melayaninya dari jauh dengan sepenuh hati, dan mengusahakan sesuatu yang disukainya, maka ia akan menunjukkan wajahnya kepada Anda tanpa Anda perlu menyingkap selubungnya. Bukankah begitu?

Itu baru bagaimana memperlakukan surat cinta-Nya, bagaimana pula strategi meraih cinta-Nya? Dalam keadaan Jatuh hati biasanya orang akan memperhalus, memperlunak dan memperlembut semua perilaku dan kata-katanya. Banyak orang menciptakan puisi-puisi cinta. Tetapi itu hanya membuktikan ada memiliki perhatian, bukan cinta. Karena itu pembuktian bahwa Anda sedang jatuh hati hanya dengan lima tata krama. Kata orang alim seandainya Anda mendawamkan lima tata krama ini, niscaya Anda mendapat kebaikan, kemenangan dan meraih apa yang membuat Anda jatuh hati. Apa tata krama itu? Pertama, mengosongkan perut. Kedua, mentadaburi Al Qur’an. Ketiga, merebahkan diri sambil menangis diwaktu sahur. Keempat, shalat malam. Dan kelima, bergaul bersama orang-orang baik dan berpengetahuan.

Hati suci merupakan hati yang berketetapan pada pencapaian kesadaran akan Tuhan, lebih luas dari alam semesta. Karena Tuhan berkata: “Bumi-Ku dan langit-Ku tidak dapat memuat-Ku. Hati seorang Mukminlah yang dapat” Bagaimana dengan hati Anda? Rumah boleh sempit, asal hati tetap luas.

Sumber : Kompasiana

Selengkapnya...

Rabu, 09 Februari 2011

Penting Diketahui!!! Kebiasaan Umum yang Salah dalam Mengkonsumsi Minuman/Makanan

Makan dan minum merupakan kegiatan yang sangat penting bagi manusia dan semua makhluk hidup umumnya, karena merupakan salah satu salah satu cara untuk memperoleh unsur-unsur yang diperlukan tubuh seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan lain-lain. Jadi wajar jika dikategorikan ke dalam kebutuhan primer. Bayangin aja beberapa hari tanpa minum atau makan sama sekali, pasti tubuh jadi lemas lunglai.

Namun memasukkan makanan dan minuman, bukan asal masuk ke dalam tubuh saja. Jika sudah begini bisa-bisa bukan unsur hara yang terserap oleh tubuh, tetapi malah mendatangkan penyakit. Wah ribet yah!!

Ternyata, banyak sekali kebiasaan yang salah dalam mengkonsumsi minuman/makanan tetapi umum dilakukan termasuk saya sendiri dan ternyata akibatnya fatal. Apa sih kebiasaan itu?

1. Minum es setelah makan



1. Minum es setelah makan
Bagi penggemar es berhati-hatilah, ini kebiasaan salah dan berakibat fatal. Kenapa begitu?!! Karena ini berhubungan dengan serangan jantung.
Minum es memang segar tapi air itu akan membekukan makanan berminyak yang kita santap, terutama makanan berlemak. Lemak itu akan terbentuk dalam usus dan akan mengakibatkan menyempitnya saluran-saluran pencernaan kita. Jika lemak berkumpul maka akan mengakibatkan kegemukan dan tentu saja menyumbat pembuluh darah.
Biasanya orang yang terlalu gemuk akan mudah diserang berbagai penyakit, terutama penyakit jantung. Biasanya serangan jantung mulai terasa pada tangan sebelah kiri. Lalu merambat sedikit-demi sedikit ke bagian atas dada. Mungkin pada awalnya tidak begitu terasa. Tanda-tanda lainnya adalah rasa capai/lelah dan berkeringat. Jadi waspadalah!!!

Lebih baik meniru kebiasaan orang China atau Jepang, minum air hangat sewaktu/sesudah makan. Karena air panas akan mencairkan segala makanan berlemak sehingga mudah diserap tubuh.

Jika anda memang penggemar berat es, sebaiknya jangan mengkonsumsinya setelah makan. Lebih baik beri waktu beberapa lama sampai makanan yang dikonsumsi sebelumnya (nasi dan teman-temannya) tercerna dulu dengan baik, baru minum es.

2. Minum teh/kopi setelah makan

Ini kebiasaan yang umum sekali di masyarakat kita, apalagi di daerah Jawa. Setiap habis makan di warung atau rumah makan biasanya disuguhi teh. Saya sendiri sering memesan teh hangat/teh botol setelah makan. Padahal ini termasuk kebiasaan yang harus dihindari, bahkan kabarnya bisa menyebabkan anemia.

Kenapa? Teh mengandung zat yang disebut tanin, zat ini bisa menyebabkan pengurangan daya serap besi. Teh yang diminum paling tidak sejam sebelum atau setelah makan akan mengurangi daya serap sel darah terhadap zat besi sebesar 64 %. Selain mengandung tanin, teh juga mengandung kafein, polifenol, albumin, dan vitamin. Tanin bisa mempengaruhi penyerapan zat besi dari makanan terutama yang masuk kategori heme non-iron, misalnya padi-padian, sayur-mayur, dan kacang-kacangan.
“Bila kita makan menu standar plus segelas teh, zat besi yang diserap hanya setengah dari yang semestinya”
Menurut Dr. Rachmad Soegih, ahli gizi dari RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, zat tanin itu sendiri memang menghambat produksi hemoglobin. Kalau memang mau menghindari teh dan mendapatkan banyak zat besi, sebaiknya teh digantikan air jeruk sebagai peneman makan.
“Makan nasi pecel dengan jeruk memperbesar penyerapan zat besi bila dibandingkan dengan minum es teh”. Karena vitamin C ternyata memperbesar penyerapan zat besi oleh tubuh.

Jadi kalau bisa mulai sekarang, hindari minum teh setelah makan. Lebih baik berikan jeda sekitar 2 jam setelah makan.

Sama halnya dengan teh, minum kopi setelah makan juga dapat mengurangi daya serap zat besi. Tetapi pengurangannya lebih kecil dibandingkan teh yaitu sekitar 39%.

3. Minum air putih sebelum makan

Nah, kalau ini kebiasaan buruk saya nih, selalu minum air putih dulu sebelum makan, padahal ternyata gak baik lho. Ternyata mengkonsumsi air terlalu banyak tepat sebelum makan memang membuat kita kehilangan nafsu makan karena lambung menjadi penuh Pantesan saya jadi malas makan arena sudah kenyang duluan hehe.

Minum air sesaat sebelum makan akan membuat proses penyerapan makanan oleh enzim menjadi lebih sulit. Karena air yang diminum butuh waktu 30 menit mengalir dari lambung menuju usus. Sehingga jika minum sesaat sebelum makan, belum sempat air menuju usus sudah ditambah dengan makanan yang membuat enzim lebih sulit bekerja.

Minum air putih memang sehat dan sangat dianjurkan, tetapi harus diperhatikan kapan waktu yang tepat untuk meminumnya, sebaiknya diminum :
1-3 gelas saat bangun tidur pada pagi hari, karena akan mengganti sebagian cairan yang hilang selama kita tidur
2-3 gelas, 1 jam sebelum makan siang
2-3 gelas, 1 jam sebelum makan malam.

Minum air sesaat sebelum tidur juga harus dihindari karena bisa mencegah terjadinya aliran balik. Walaupun hanya air, jika bercampur dengan asam lambung bisa memasuki tenggorokan dan terhirup ke dalam paru-paru yang dikhawatirkan risiko menderita pneumonia. Jika memang sangat haus, minum air bisa dilakukan satu jam sebelum waktu tidur.

4. Minum susu berdekatan dengan mengkonsumsi jeruk/jus, teh, atau obat-obatan.

Minum susu itu bagus dan menyehatkan, tapi kalau dikonsumsi berbarengan atau berdekatan dengan makanan lain yang saya sebutkan barusan, justru malah dapat mengurangi khasiat dari susu itu sendiri. Kenapa sih bisa begitu?

-Minum susu dan jeruk atau jus
Jika protein dalam susu bertemu dengan asam dalam jeruk, menimbulkan pemadatan, yang akan mempengaruhi pencernaan dan penyerapan susu dalam tubuh manusia. Terlebih lagi, selama periode ini, juga tidak cocok untuk makan buah-buahan asam lainnya. Jadi sebaiknya makan jeruk lebih dari satu jam sebelum atau sesudah makan.

Menambahkan jus dan minuman asam lain dalam susu juga tidak bagus. Karena 80% protein dalam susu adalah kasein. Ketika pH susu lebih rendah dari 4.6, sejumlah besar kasein akan menggumpalkan dan presipitat dalam tubuh manusia, yang sulit untuk pencernaan dan penyerapan. Jika parah, mungkin menimbulkan gangguan pencernaan atau diare.

-Minum susu dicampur teh
Teh dapat meningkatkan aliran darah dan kemampuan dari arteri untuk berelaksasi, namun selanjutnya para peneliti yang berasal dari Charite Hospital, University of Berlin menyebutkan bahwa susu dapat menghambat efek perlindungan yang dimiliki oleh teh dalam menghambat terjadinya penyakit jantung. Para peneliti juga menyebutkan bahwa protein kasein yang terdapat pada susu dapat menurunkan sejumlah komponen yang terdapat pada teh, yaitu catechin, yang memiliki kemampuan melawan penyakit jantung.
Jadi teh jangan dicampur ama susu ya!!!

-Minum susu dengan obat-obatan
Beberapa orang suka minum susu untuk membantu menelan obat. Padahal ini salah. Susu secara signifikan dapat mempengaruhi penyerapan obat dalam tubuh manusia terutama antibiotik. Susu mudah membentuk penutup pada permukaan obat, sehingga kalsium, magnesium dan zat mineral lainnya dalam susu akan memiliki reaksi kimia dengan obat, dan bahan bentuk larut air, sehingga mempengaruhi pelepasan dan penyerapan keampuhan obat. Oleh karena itu, jangan minum susu satu jam sebelum atau setelah Anda minum obat. Dan sebaiknya minumlah obat dengan menggunakan air hangat biasa.

5. Makan buah setelah makan
Selama ini buah-buahan lazimnya dikonsumsi setelah makan, sebagai hidangan pencuci mulut, padahal ini bukan kebiasaan yang baik. Kenapa demikian? Kita tahu bahwa buah banyak mengandung gas, makan buah sesudah makan, akan membuat perut menjadi kembung karena dipenuhi dengan udara.

Menurut artikel yang saya baca di internet, makanan yang kaya karbohidrat seperti nasi, akan merangsang pankreas untuk memproduksi insulin. Sedangkan buah merupakan bahan makanan yang mengandung fruktosa sehingga dapat pula menimbulkan peningkatan kadar insulin. Jika makan nasi lebih dulu, pankreas akan bekerja berat untuk mengolah nasi dan protein yang ada dalam lauk pauk dan memerlukan waktu berjam-jam.
Sehingga, jika buah dimakan setelah makan nasi, maka buah yang sudah berada di dalam perut akan mengalami antrian yang panjang untuk diproses sehingga menjadi busuk. Karena sifat buah yang tak bisa bertahan lama.

Kebayang gak sih gimana beratnya kerja pankreas kita, jika kita langsung makan buah setelah makan. Belum selesai mencerna nasi beserta teman-temannya, sudah disuruh mencerna buah, ya mana mungkinlah. Yang ada malah perut menjadi dingin dan kembung, bukannya terserap tetapi malah jadi busuk.
Jadi sebaiknya makan buah 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan supaya semua makanan yang masuk bisa terserap dengan baik.

Ayo mulai sekarang terapkan kebiasaan makan dan minum yang benar, supaya apa yang kita konsumsi tidak terbuang percuma atau malah jadi sumber penyakit.

Semoga bermanfaat


Sumber : Kompasiana

Selengkapnya...